Mohon tunggu...
Ahmad Sofyan
Ahmad Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Arsitek dan desainer web freelance yang suka nulis dan ngeblog. Mantan kolumnis majalah INTELIJEN.\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi 1 Oktober: Matinya Pancasila

12 Oktober 2011   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:03 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Momentum Hari Kesaktian Pancasila genap mencapai usia 46 tahun. Tragedi yang telah membenamkan trauma politik ke dalam nurani bangsa. Peristiwa Lubang Buaya dipandang sebagai pentas dramatis pertarungan ideologis kekuatan Nasionalis dengan kekuatan Kiri (PKI).

Atas dasar itu, tanggal 1 Oktober 1965 diabadikan sebagai simbol keunggulan ideologi Pancasila dari Komunisme. Istilah “kesaktian” seolah ingin mempertegas citra ketangguhan konsepsi Pancasila ketika berhadapan dengan ideologi alternatif. Benarkah Pancasila sakti?

Kematian Ideologi

The end of ideology (Kematian Ideologi), konsep yang diusung Daniel Bell (1962) saat ia mempublikasikan bukunya, The End of Ideology: On The Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Ketika ideologi yang pada mulanya mampu menjadi pembuka jalan bagi aksi yang tidak saja merombak cara berpikir, tetapi dapat pula merubah keadaan rakyatnya, berhenti pada satu titik dimana ideologi menemui jalan buntu karena infeksi pragmatisme.

Jika mengkritisi pelaksanaan Pancasila sejak era Orde Baru hingga sekarang, pada kenyataannya, ideologi ini cenderung sangat efektif dan efisien sebagai dalih perilaku korup aparat negara. Di era Orba, Pancasila diidentikan dengan Soeharto. Mengkritisi Soeharto berarti mengutak-atik Pancasila. Sebaliknya patuh pada Soeharto dimaknai sebagai kepatuhan pada Pancasila. Parktek monolitik yang disematkan Orde Baru jelas telah membahayakan ideologi bangsa. Jadi Pancasila sering dipakai secara ideologis untuk membenarkan bermacam-macam pembatasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan Pancasila itu sendiri.

Almarhum Gus Dur mengatakan, “Suatu ideologi akan langgeng jika bila ada kegunaannya. Artinya ada pengejawantahannya dalam kehidupan. Dalam Komunisme, salah satu aspek kehidupan, yaitu egalitarian dihilangkan. Munculnya aparat partai sebagai penguasa baru menandakan harapan Komunisme tentang persamaan tidak tercapai. Janji-janji Marxisme terasa kosong bagi rakyat, lalu ditinggal. Yang ada hanyalah tafsiran oleh elit-elit yang tidak dimengerti rakyatnya. Bagaimana dengan Pancasila? Ya sama saja, kalau Pancasila diperlakukan demikian!”[1]

Gus Dur menekankan, “Artinya, pengertian Pancasila secara sungguh-sungguh sudah tidak ada, baik rakyat maupun pemerintahnya. Kalau Pancasila jalan terus, kan nggak ada korupsi.”

Jika di zaman Orde Baru, rakyat tabu berbicara Pancasila karena akan dianggap subversif, kini orang justru malas membahasnya. Pelan tapi pasti, kita akan melupakan falsafah hidup bangsa hingga kemudian Indonesia akan hidup tanpa nilai, tanpa makna.

Norma Penjaga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun