Malam ini 23.05. Pesan singkatmu menderingkan ruangku.
"Mari jatuh cinta pada malam, agar kau tak sakit merindui kopi pagiku dan embun janarimu."
Kau tahu aku terheran setiap kali kau terpukau pada pahit kopi pagimu. Hanya pahit. Lantas, sehina itukah rasa lain yang tak ingin kau kecap? Sekadar ucap kau menjawab. "Kopi pagi tak pantas dikhianati."
"Ah, khianat memang laknat meski terkadang terasa begitu nikmat," tentu saja aku tahu diksi ini membuatmu tersenyum di sudut hatimu.
Agaknya kau mulai melupa cerita tentang kunang-kunang. Binatang yang senantiasa hadir pada nadir senja di pinggiran kotamu. Entah mengapa, ceritamu membuatku menyandu. Mungkin karena aku tak pernah melihatnya, lalu kau bebas menjelajah ruang kosong akson di kepalaku.
Segala kebodohan selalu mengguncang narasi  kita. Seperti saat kau bertanya tentang mengapa ikan suka berenang, tentang sendok yang berwarna emas, tentang keramik tua di bawah lautan, dan semua yang jauh dari kita. Fiksi-fiksi bodoh yang anehnya kuunduh tanpa jenuh.
Beda kita layaknya badai yang hadir di setiap deru nadiku. Suarmu memberikan sinar terang ketika aku ingin berlabuh. Sementara dualisme perkara bertarung bagai saga di antara kita. Kita senang melogika rasa. Maka dungulah kau dan aku. Entah gemuruh rasa ini yang penting atau cinta yang menjadi pantang?
***
Solo, 23/05/23 tepat 23.05 waktu puing-puing lema betebaran di atas meja