""Ris,...Riska...Riska..." wanita berambut separo abu-abu memanggil pelan putri semata wayangnya.
"Yha ...Ibu? Ada apa?"
"Apa yang kau lihat?"
"Hujan," sang Ibu tersenyum. Seujung langit pun tahu, senyuman itu sangat tulus, lahir dari batin yang terdalam.
"Kau sangat menyukai hujan?"tangan Ibunda membelai rambut halus lurus seperti sutera milik anak tercintanya.
Diletakkannya kain yang sedari tadi akan dijahit milik Ny. Mengmei tetangga depan rumahnya. Duduklah ia di samping putri kesayangannya.
"Mari putri pintarku, sekarang kita nikmati hujan ini berdua. Kau tahu, tetes hujan itu bening, air yang sangat jernih, yang menetes, jatuh dari langit. Kau dengar suaranya? Riuh bukan?"
"Mereka menari, Ibu?" Ibunda hanya tersenyum. "Apakah mereka sedang bernyanyi?"
"Tentu, anakku. Mereka melakukan pertunjukan hebat kali ini. Pertunjukan yang telah disepakati bersama. Tak ada kebimbangan, tak ada keraguan, semua saling percaya, bahwa mereka mampu menampilkan hal hebat untuk kita nikmati."
"Ibu, mengapa kemarin ada Tante Ning ke sini, dia bilang hujan itu payah, bikin basah, bikin ulah, kemana-mana hujan jatuh dan bikin resah, karena orang tak bisa bebas melangkah? Mengapa Tante Ning marah-marah? Apa hujan itu salah?"
"Nak, kau memang pintar. Tapi tidak semua orang menyukai hujan. Mungkin mereka lebih bersahabat dengan musim panas. Lebih hangat. Masing-masing orang punya kesukaan yang berbeda."