Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Ibu, Bolehkah (Tidak) Sempurna Seperti Ayah?

13 Januari 2020   17:09 Diperbarui: 14 Januari 2020   20:31 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak yang memberi bunga kepada ibunya. (sumber: istockphoto via kompas.com)

Hmmm, judul yang bisa ditafsirkan dalam berbagai rasa dan makna bukan? Biar sajalah.

Sebagian dari kita, khususnya wanita, pasti pernah mengalami apa yang dinamakan "perang gerilya" di pagi hari.  Menyiapkan bekal makan anak-anak dan suami, menyiapkan sarapan (entah beli di warung nasi terdekat atau memasak sendiri). Belum lagi bila terdengar suara melengking tinggi si kakak, "Mama...di mana dasiku?" 

Kemudian si Adek tak mau kalah tinggi nadanya, "Mama, kaos kaki kiri Adek dimana ya, Ma...kok tinggal yang kanan doank,"

Bayangkan saja, bila sang Mama menjawab, "coba tanya Papa tuh." Kemudian dengan gagah berani sang Papa ikut mencari dan....ternyata gagal.

"Ga ada, Ma...dah Papa mo brangkat kerja, Ayo sapa yang mo nebeng Papa..."

Hehehe... kadang situasi seperti itu banyak sekali kita jumpai pada keluarga Indonesia, oh atau memang ada diantara kita yang hampir setiap hari menghadapi situasi seperti itu, Ibu?

Bagi kaum pria adalah hal yang dapat dimaklumi bila tak dapat menemukan kaos kaki anak,atau topi sekolah yang entah di lemari yang mana... Well that will be fine.

Tapi bagaimana dengan perempuan? Menemukan barang-barang kecil anak adalah keahlian kita bukan? Setiap hari layaknya seorang Sherlock Holmes, kita telah menjadi pahlawan bagi anak-anak kita, meski hanya penemu kaos kaki sebelah saja.

Seringkali dalam masyarakat kita, sosok seorang ibu dituntut untuk menjadi sempurna. Sebagai guru, fashion stylish, psikolog, chef, bendahara, bahkan sebagai tukang segalanya.  

Gelar yang dibebankan pada wanita sebagai seorang ibu selalu dituntut untuk mampu menjadi penolong (segalanya) bagi tugas para lelaki.

Beberapa Ayah menyempatkan diri untuk mendengarkan cerita sekolah anaknya pada saat minum teh, well, lucky you if you have that kindda Dad.... Namun kebanyakan para Ibu lah yang menyempatkan diri untuk mau mendengarkan celoteh anak-anaknya. 

ilustrasi Ibu dan anak. (sumber: pinterest/tryfoto.com)
ilustrasi Ibu dan anak. (sumber: pinterest/tryfoto.com)
Hal ini pun seakan mendapat "penerimaan" di masyarakat, bahwa tugas mendengarkan cerita anak dibebankan bagi kaum ibu. Sedangkan jarak yang ada antara anak dengan ayah pun mendapat pemakluman dari masyarakat. Ya, itulah Ayah. Bicara paling cuma sedikit. Yang harusnya banyak bicara, kan si ibu? Sehingga label "bawel" selalu melekat pada perempuan. 

Memang menurut penelitian, rata-rata seorang wanita mampu menggunakan 20.000 kata, sedangkan pria hanya mampu menggunakan 7.000 kata dalam sehari. Bisa dibayangkan, begitu minimnya kata-kata seorang Ayah kepada anaknya, bila seharian penuh ia sudah menggunakan 7.000 kata-katanya. Bukankah telah habis? 

Sedangkan seorang wanita, tergantung pada aktivitas kesehariannya. Bila ia telah banyak menhabiskan kata-katanya pada aktivitas kesehariannya, maka tinggal sedikitlah perbendaharaan katanya. 

Namun bayangkan saja, bila dalam kesehariannya, seorang wanita hanya menghabiskan 3.000 kata-katanya, bukankah masih sekitar 17.000 kata-kata yang siap diluncurkannya pada saat jam makan malam?

Sebagai masyarakat yang arif, mari bijaksanalah dalam memberi gelar dan tugas sebagai seorang ibu. Bahwa seorang ibu tidaklah harus sempurna. Bukankah seorang ibu juga hanyalah manisia sama seperti Ayah? 

Jika ada bagian dari tugas orang tua yang boleh dimaklumi pada seorang Ayah, bukankah seorang ibu juga berhak untuk dimaklumi bila ada tugas yang tak mampu ia lakukan?

Mengapa hanya Ayah saja yang mendapat pemakluman, sedangkan ibu, apakah harus sempurna? Ada yang pernah berkata pada saya, bahwa sebagai orang tua, kita adalah seperti "gas dan rem". Jika memang benar demikian, maka pentinglah kedua tugas orang tua, baik sebagai seorang Ayah maupun seorang ibu.

Ada beberapa hal yang mungkin dapat membantu seorang wanita dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu.

1. Realistis.

Bersikaplah realistis dalam menjalani tuhgas sebagai seorang ibu. Tak perlu kita menjalani dengan berbagai fantasi, baik bentukan kita sendiri sebagai wanita ataupun tuntutan masyarakat yang terlalu membebani kita. 

Mintalah pertolongan untuk mengerjakan tugas rumah tangga yang sekiranya tak mampu kita jangkau dengan tenaga kita. 

2. Meminta bantuan suami

Jika memang diperlukan, mintalah pertolongan dari suami. Hal ini sangat disarankan Mengapa? Seorang wanita dengan segala tuntutan pekerjaan yang begitu beragam membutuhkan pribadi yang mampu diajak bekerjasama untuk melakukan tugas rumah tangga. Mengapa tidak mengajak suami untuk bekerja sama?

Satu hal yang wajib diketahui, adanya miskomunikasi dalam sebuah rumah tangga adalah ketidakmampuan pasangan untuk memahami perbedaan pola pikir satu dengan yang lain.

Seorang laki-laki bila mengalami kesulitan, ia akan meminta tolong kepada seseorang yang ia anggap mampu untuk memberikan solusi. Sedangkan wanita, lebih sering hanya membutuhkan tempat untuk mencurahkan perasaannya, tanpa harus mendapatkan solusi.

Jadi inilah yang seringkali menjadi permasalahan komunikasi antara pria dan wanita. Ketika pria mendapat masalah, si wanita seolah memaksa agar pria mau menceritakan permasalahannya. 

Begitupula dengan pria. Bila wanita menceritakan permasalahannya, maka si pria akan secepatnya memberikan solusi atas permasalahan tersebut. 

Apa yang terjadi? Salah paham....(well,...jangan salah saya juga baru berproses dalam hal ini). Mari bersama belajar untuk mampu menempatkan diri Kita masing-masing sesuai porsi dan pola pikir kita.

So, tidak salah bukan, jika seorang ibu meminta pertolongan pada Ayah?

3. Adakan waktu untuk "saya" dan waktu untuk "suami"

Lagi-lagi, saya pun baru belajar untuk mematahkan ego kepemilikan saya pada seseorang yang selama ini hanya saya pikir menjadi waktu bersama kami. Meskipun kebersamaan dalam sebuah keluarga adalah hal yang penting, namun jangan pernah berpikir, bahwa "me time" kita masing-masing adalah hal yang tak penting.

Justru saat-saat inilah yang bisa Kita manfaatkan untuk bergaul seluasnya (tentu dengan batasan norma yang ada) untuk mengembangkan diri Kita sebagai kaum wanita. Atau bisa jadi ini adalah waktu kita bertemu dengan diri kita sendiri.

(Thankyu buat yang sudah memberi kelonggaran pada saya .....love you)

4. Jangan merasa bersalah

Bila beberapa teman wanita Saya ditanya, apakah mereka puas dengan pekerjaan rutinitas mereka sebagai seorang ibu? 

Kebanyakan dari mereka merasa belum sempat menjadi seorang guru matematika yang benar, ada lagi yang menjawab, belum dapat menjadi istri yang dapat merawat diri, belum bisa menjadi psikolog untuk anaknya, belum bisa ini atau itu. 

Salahkah? Haruskah sempurna? Kita semua tahu, tak ada satu orang pun di dunia ini adalah sempurna. Ketidaksempurnaan kitalah yang harusnya mendorong Kita untuk belajar dan terus berproses.

Jangan merasa bersalah jika kita sebagai wanita belum bisa menjadi ibu yang sempurna. Karena pada dasarnya kita semua adalah berharga di hadapanNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun