Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengelola Jiwa: Marah atau Amarah?

23 Agustus 2019   12:40 Diperbarui: 23 Agustus 2019   12:53 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"The end is near, Sister"

Itulah balasan singkat atas komentar saya dari seorang Kompasianer idola saya, Philip Manurung dalam artikel beliau Merawat "Anak Perdamaian" dari Papua.

Saya cukup tertarik dengan komentar beliau ini. Mengapa? Banyak hal terjadi akhir-akhir ini mengusik ketenangan perdamaian dan persatuan Indonesia.

Berbagai kejadian berbasis SARA mulai berhembus di dunia maya. Ada yang berujar tentang permasalahan keyakinan, ada juga yang berujar atas dasar sebuah perbedaan suku dan ras. Dua hal yang berawal dari ujaran ternyata berakhir dengan satu kata "menyedihkan".

Tiga unsur dalam hidup kita, yang sangat menarik dan unik


Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam diri kita ada tiga unsur kehidupan. Tubuh, berhubungan dengan segala aktivitas fisik kita. Sedangkan roh bertugas untuk berhubungan dengan Sang Pencipta, Tuhan kita. Dan jiwa adalah hasil dari tubuh saat diberi roh agar dapat tercipta kehidupan. 

Tubuh kita bertumbuh, mulai dari sejak kita bayi, lalu bertumbuh jadi anak-anak, remaja, pemuda, kemudian menjadi tua.

Begitu pula dengan kehidupan rohani kita. Semakin hari bila kita semakin menjalin hubungan dengan Tuhan kita, melakukan segala yang diperintahkan dan menjauhi laranganNya, beribadah dengan teratur, menghidupi setiap firmanNya, menjalankan semua aturan yang berlaku sesuai norma agama, maka bisa dikatakan rohani kita sedang bertumbuh.

Bagaimana dengan jiwa kita? Jiwa pun mengalami pertumbuhan. Namun pertumbuhan jiwa kita lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan tubuh(fisik) dan roh kita.

Jiwa memerlukan "sandaran" untuk bertumbuh. Jika jiwa kita bersandar pada tubuh, maka jiwa kita mudah sekali rapuh. Sebagai contoh, saat kita menerima ujaran atau kata-kata yang kasar, hinaan, cacian, maka sangatlah mudah jiwa kita akan hancur.

Namun bila jiwa kita bersandar pada roh kita yang bertugas untuk membangun relasi antara kita dengan Sang Pencipta kita, maka pada saat roh kita bertumbuh, maka jiwa kita pun akan semakin kuat.

Sebuah bentakan yang terucap dari orang tua kepada anak akan sangat berdampak buruk bagi pribadi si anak. Dan bisa dibayangkan, bila dilakukan secara terus menerus maka akan "menghancurkan" jiwa anak dan mungkin akan mempengaruhi pola pikir serta karakter si anak dalam masa pertumbuhannya.

Kadang kita tak pernah tahu, seberapa besar dampak dari kata-kata yang kita ucapkan kepada orang-orang di sekitar kita.

Sangatlah bijak jika kita menggunakan kata-kata yang bermanfaat dan membangun bagi jiwa orang-orang di sekeliling kita, karena pada akhirnya dampak baiknya pun kita sendiri yang merasakannya.

(A)marah, luapan emosional jiwa kita

Kejadian tanggal 19/08/2019 di Manokwari dan Sorong kemarin sempat menjadi bahan pelajaran bagi kita. 

Saat saya mendengar kabar tersebut, saya berusaha menghubungi teman saya, beliau bekerja di sebuah yayasan pekabaran Injil, Yayasan Kartidaya untuk cabang Papua.

Kelegaan sempat terasa saat saya tahu saudara-saudara yang melayani dan semua teman-teman di Sentani dan Jayapura baik-baik saja, namun kesedihan dan keprihatinan kembali menggugat naluri saya bilamana mengetahui apa yang menjadi penyebab amarah saudara-saudara di sana meluap seperti kemarin.

Saya bersyukur, kondisi Sorong dan Manokwari berangsur kondusif. Namun satu yang dapat saya tarik dari kejadian kelam kemarin adalah bagaimana kita bisa mengendalikan kemarahan kita.

Berkaitan dengan tiga unsur penting dalam diri kita, kali ini saya akan menulis tentang suatu hal yang kerap kali kita jumpai atau kita alami dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kemarahan.

Pertanyaan saya bukanlah apakah marah itu dilarang, bolehkah kita marah, atau salahkah bila kita marah. Yang saya tanyakan adalah kapan terakhir kali kita marah?

Marah adalah sebuah perasaan ketidaksenangan yang dirasakan oleh semua individu saat kita merasa tertantang atau terluka. Dan marah ini, masih dalam tahap emosional yang wajar.

Sebagai contoh, kita marah saat nilai sekolah anak kita jelek, kita marah saat seseorang berbohong pada kita, dan lainnya.

Lalu bagian mana yang tidak wajar?

Berbeda dengan marah. Hal yang perlu kita waspadai adalah amarah. Amarah adalah bentuk kemarahan yang extrim, yang merusak, sekaligus mendendam. Amarah mampu mengakibatkan seseorang melakukan perilaku yang dapat merusak orang lain maupun dirinya sendiri. Inilah suatu kondisi yang tidak lazim.

Ijinkan sekali lagi saya mengutip jawaban komentar saya dari Kompasianer kita, Philip Manurung, yang mungkin beliau kutip dari Matius 24:12.

"Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin."

Kasih. Ya,...kasih itu telah menjadi dingin. Begitu banyak hal yang membuat kita seakan tak menyadari bahwa apa yang kita perkatakan, baik secara langsung maupun lewat media sosial kita seringkali membuat orang lain menjadi terluka.

Mari saya ingin berbagi 3 hal yang menjadikan kita mampu mengelola kemarahan :

1. Ego adalah akar, amarah itu adalah buah.

Mari kita belajar untuk memahami bahwa sebenarnya amarah adalah buah dari egoisme kita yang berupa selfishness (kesombongan) dan selfpitty (mengasihi hal-hal yang bersifat materi).

Sebagai contoh, kita akan marah bila keberadaan kita tidak dianggap penting oleh orang lain ("ya, kan ga ada yang nyambut saya waktu datang. Emang mereka ga ngerti siapa saya?" pernah mendengar orang mengatakan hal seperti itu?) 

Atau kadang kita marah pada anak kita yang bermain petak umpet dan memecahkan vas bunga kita yang mahal harganya. 

Jika kita ingin mencabut tanaman tak berguna, maka cabutlah akarnya dan bukan buahnya.

2. Menumbuhkan kekuatan roh yang mendominasi jiwa kita.

Seperti kita bahas di depan, marah dan amarah adalah produk emosi kita. Emosi merupakan salah satu unsur yang dihasilkan jiwa kita. 

Jika kita mampu menumbuhkan kekuatan roh kita dengan mempererat hubungan kita dengan Sang Pencipta, maka jiwa kita akan bersandar pada roh kita, bertumbuh bersama dengan pertumbuhan roh kita. 

Seseorang seringkali gagal dalam menjalankan puasa seharinya karena "niat" telah digagalkan oleh tuntutan tubuh. Pertanda bahwa jiwa bersandar pada tubuh.

3. Kelelahan jiwa kita rentan membuat kita marah bahkan ber-amarah.

Beban hidup yang kita jumpai dalam keseharian kita, entah itu dalam pekerjaan atau tekanan study, target perusahaan, mengurus kebutuhan anak-anak setiap hari, mengelola rumah tangga kita yang penuh tuntutan hidup, terkadang membuat jiwa kita lelah.

Kelelahan jiwa seringkali memicu kita untuk tidak bisa mengontrol emosi. Ini yang perlu kita waspadai.

Karena mungkin dalam kondisi marah dan penuh amarah kita akan mudah memperkarakan hal-hal yang akan kita sesali di kemudian hari.

Seorang Thomas Jefferson pernah berkata, "Bila Anda marah, maka mulailah berhitung antara 1 sampai dengan 10, sebelum Anda berkata-kata." Hal ini seringkali saya namakan dengan "mematikan diri".

Saya akan menutup artikel ini dengan mengutip sebuah ungkapan mendalam dari seorang Bapak RI 1 kita, Presiden Joko Widodo menanggapi kejadian di Papua beberapa waktu yang lalu.

"Emosi boleh, tetapi memaafkan itu lebih baik. Sabar itu juga lebih baik "

Sampai jumpa di artikel mendatang. Selamat mengelola kemarahan kita.....

*sumber:

Alkitab (TB) , LAI ; Kompascom (21/08/2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun