Mohon tunggu...
Dhuha Dzakirah
Dhuha Dzakirah Mohon Tunggu... Mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Pengamat Isu Sosial

Selanjutnya

Tutup

Diary

TikTok Day-1 Confess: Transformasi Budaya Malu dalam Era Post-Privacy Society

6 Juli 2025   21:49 Diperbarui: 6 Juli 2025   21:49 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trend Day-1 Confess di Tiktok (Sumber akun tiktok : @haloww_22)

Di era digital yang serba terbuka ini, kita menyaksikan fenomena yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Tren "Day-1 Confess" di TikTok telah menjadi viral dan mengubah cara pandang generasi muda terhadap privasi dan rasa malu. Ribuan pengguna TikTok berlomba-lomba membagikan rahasia pribadi mereka ketika mengungkapkan perasaan mereka kepada seseorang namun seringkali mendapatkan respon yang tidak sesuai, tetapi tetap menguploadnya demi mendapatkan validasi dari para penonton.

Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial biasa. Ini adalah cerminan dari transformasi budaya yang sedang terjadi di masyarakat kita. Dimana Generasi Z dan Alpha tampaknya sudah tidak lagi memiliki batas-batas privasi yang jelas, mereka dengan mudah membuka diri di hadapan jutaan orang yang tidak mereka kenal. Yang mengejutkan adalah antusiasme penonton dalam menyaksikan pengakuan-pengakuan pribadi ini. Video-video Day-1 Confess sering kali mendapat jutaan views dan ribuan komentar. Seolah-olah, semakin pribadi dan memalukan sebuah cerita, semakin banyak orang yang tertarik untuk menyaksikannya.

Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran yang mendasar dalam cara kita memahami konsep privasi dan rasa malu. Dulu, hal-hal pribadi dijaga ketat dan hanya dibagikan kepada orang-orang terdekat. Sekarang, justru dengan membagikan hal-hal pribadi tersebut, seseorang bisa mendapat popularitas dan pengakuan sosial. Tren ini juga mencerminkan kebutuhan generasi muda untuk mendapat validasi dari orang lain, mereka merasa bahwa dengan membagikan pengalaman traumatis atau memalukan, mereka akan mendapat empati dan dukungan dari komunitas online. Sayangnya, tidak semua respons yang mereka terima bersifat positif.

Analisis Sosiologi

Dari sudut pandang sosiologi, fenomena Day-1 Confess dapat dipahami sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai "post-privacy society" atau masyarakat pasca-privasi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog seperti Zygmunt Bauman dan Manuel Castells, yang melihat bagaimana teknologi digital mengubah struktur sosial dan nilai-nilai masyarakat.

Dalam masyarakat tradisional, konsep malu atau "shame" memiliki fungsi sosial yang penting. Rasa malu berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang membantu menjaga norma dan nilai-nilai masyarakat. Ketika seseorang merasa malu, itu berarti mereka memahami bahwa tindakan mereka tidak sesuai dengan ekspektasi sosial. Namun, dalam era digital ini, konsep malu mengalami transformasi yang signifikan. Yang dulunya dianggap memalukan, kini justru bisa menjadi sumber popularitas dan penghasilan. Pengguna TikTok yang membagikan cerita traumatis mereka sering kali mendapat followers baru, brand endorsement, atau bahkan kesempatan menjadi influencer.

Fenomena ini juga berkaitan dengan teori "dramaturgi" dari Erving Goffman. Goffman menjelaskan bahwa dalam kehidupan sosial, setiap orang adalah aktor yang memainkan peran tertentu di "panggung" kehidupan. Dalam konteks Day-1 Confess, panggung tersebut adalah platform TikTok, dan para pengguna berusaha mempresentasikan diri mereka dengan cara yang paling menarik perhatian.

Yang menarik adalah bagaimana trend TikTok turut membentuk perilaku ini, kemudian cenderung mempromosikan konten yang mendapat engagement tinggi, termasuk konten yang kontroversial atau emosional. Ini menciptakan siklus dimana semakin dramatis sebuah cerita, semakin besar kemungkinan untuk viral.

Dari perspektif teori jaringan sosial, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana identitas individual kini sangat bergantung pada validasi dari jaringan online. Generasi muda tidak lagi merasa cukup dengan validasi dari lingkaran sosial terdekat mereka. Mereka membutuhkan pengakuan dari komunitas online yang lebih luas.

Pierre Bourdieu dalam konsep "habitus" menjelaskan bahwa perilaku sosial dibentuk oleh struktur sosial yang ada. Dalam konteks ini, struktur sosial digital telah membentuk habitus baru di mana membagikan hal-hal pribadi dianggap normal dan bahkan diharapkan.

Refleksi Kependidikan Atas Masalah yang Terjadi

Fenomena Day-1 Confess menimbulkan tantangan serius bagi dunia pendidikan. Sekolah dan universitas kini harus menghadapi generasi yang memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang privasi dan batasan sosial. Hal ini memerlukan pendekatan pendidikan yang baru dan lebih adaptif.

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mendidik siswa tentang literasi digital yang bertanggung jawab. Banyak remaja yang tidak memahami konsekuensi jangka panjang dari membagikan informasi pribadi di media sosial mereka. Mereka tidak menyadari bahwa jejak digital mereka akan tersimpan selamanya dan bisa berdampak pada masa depan mereka.

Pendidikan karakter juga perlu dievaluasi ulang. Konsep tentang rasa malu, privasi, dan batasan sosial yang selama ini diajarkan mungkin sudah tidak relevan lagi dengan realitas digital saat ini. Namun, ini bukan berarti kita harus meninggalkan nilai-nilai tersebut sepenuhnya. Sebaliknya, kita perlu mencari cara untuk mengadaptasi nilai-nilai tradisional dengan realitas digital.

Sekolah juga perlu mengajarkan keterampilan berpikir kritis dalam mengonsumsi konten digital. Siswa harus mampu memahami bahwa tidak semua yang mereka lihat di media sosial adalah realitas yang sebenarnya. Banyak konten Day-1 Confess yang dibuat-buat atau dilebih-lebihkan untuk mendapat perhatian banyak penonton.

Peran guru dan orang tua juga harus berubah. Mereka tidak lagi bisa menggunakan pendekatan otoriter yang melarang penggunaan media sosial. Sebaliknya, mereka harus menjadi pendamping yang membantu anak-anak memahami cara menggunakan teknologi secara bijak.

Program konseling di sekolah juga perlu diperkuat. Banyak remaja yang membagikan trauma mereka di media sosial sebenarnya membutuhkan bantuan profesional. Namun, mereka memilih jalan yang salah karena tidak tahu harus mencari bantuan di mana.

Kurikulum pendidikan juga perlu diperbarui untuk memasukkan materi tentang etika digital, psikologi media sosial, dan dampak teknologi terhadap kesehatan mental. Siswa harus memahami bahwa media sosial bisa menjadi alat yang bermanfaat, tetapi juga bisa berbahaya jika tidak digunakan dengan bijak.

Penutup

Fenomena Day-1 Confess di TikTok adalah cerminan dari transformasi budaya yang sedang terjadi di masyarakat kita. Kita berada di era post-privacy society di mana batas-batas privasi tradisional sudah tidak berlaku lagi. Generasi muda dengan mudah membagikan hal-hal pribadi mereka demi mendapat validasi dan popularitas di media sosial. Perubahan ini tidak bisa dilihat sebagai hal yang sepenuhnya negatif atau positif. Ini adalah realitas baru yang harus kita hadapi dan pahami. Yang penting adalah bagaimana kita bisa mengambil manfaat dari teknologi digital sambil tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental.

Transformasi budaya malu yang terjadi menunjukkan bahwa konsep-konsep sosial tradisional perlu dievaluasi ulang. Namun, ini bukan berarti kita harus meninggalkan semua nilai tradisional. Sebaliknya, kita perlu mencari cara untuk mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dengan realitas digital yang ada.

Dunia pendidikan memiliki peran penting dalam proses adaptasi ini. Sekolah dan universitas harus menjadi garda terdepan dalam mendidik generasi muda tentang cara menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab. Ini bukan hanya tentang mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga tentang membentuk karakter dan nilai-nilai yang akan membantu mereka menghadapi tantangan era digital.

Orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk memahami dan mendampingi anak-anak mereka dalam menggunakan media sosial. Mereka tidak bisa lagi menggunakan pendekatan konservatif yang melarang teknologi. Sebaliknya, mereka harus menjadi partner yang membantu anak-anak memahami cara menggunakan teknologi secara sehat.

Fenomena Day-1 Confess mengajarkan kita bahwa era digital telah mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan memahami diri sendiri. Perubahan ini akan terus terjadi seiring dengan perkembangan teknologi. Yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai masyarakat bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya diterapkan.

Masa depan akan menunjukkan apakah transformasi budaya malu ini akan membawa dampak positif atau negatif bagi masyarakat. Yang pasti, fenomena ini menandai titik balik dalam sejarah sosial manusia, di mana teknologi tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga cara kita memahami diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun