Mohon tunggu...
Dhuha Dzakirah
Dhuha Dzakirah Mohon Tunggu... Mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Pengamat Isu Sosial

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Fresh Graduate Butuh Pengalaman, Pengalaman Butuh Kerja, Kerja Butuh Pengalaman - Terus Kapan Mulainya?

26 Juni 2025   20:15 Diperbarui: 26 Juni 2025   20:15 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

           Setiap tahun, jutaan fresh graduate di Indonesia menghadapi kontradiksi yang sama yaitu lowongan kerja yang mensyaratkan pengalaman, tapi pengalaman hanya bisa didapat dari bekerja. Lingkaran buruk ini seperti ayam dan telur yang tak ada ujungnya. Lulusan baru dengan ijazah yang masih hangat dari percetakan harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa gelar sarjana saja ternyata tidak cukup. Di sisi lain, perusahaan juga punya alasan logis mengapa mereka lebih memilih calon pekerja yang berpengalaman. Lantas, siapa yang salah dalam situasi ini? Dan yang terpenting, bagaimana cara memutus rantai masalah yang sudah mengakar puluhan tahun ini?

          Faktanya, kompetisi di pasar kerja Indonesia memang semakin ketat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas masih berkisar 5-6 persen dalam beberapa tahun terakhir. Dari perspektif perusahaan, merekrut karyawan berpengalaman memang lebih praktis dan cost effective. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya dan waktu ekstra untuk training intensif. Karyawan berpengalaman dianggap sudah paham workflow, etika kerja, dan bisa langsung produktif. Sementara fresh graduate dianggap masih butuh "diajari dari nol" dan belum tentu bertahan lama di perusahaan.

          Namun, sikap perusahaan yang terlalu keras dengan kriteria "minimal 2-3 tahun pengalaman" justru menciptakan hambatan di pasar kerja. Bagaimana fresh graduate bisa punya pengalaman kalau tidak ada yang mau memberi kesempatan pertama? Akibatnya, banyak lulusan baru yang terpaksa menganggur berkepanjangan, bekerja tidak sesuai bidang, atau bahkan merelakan gaji di bawah standar demi mendapat "pengalaman" pertama. Kondisi ini tidak hanya merugikan individu, tapi juga ekonomi nasional karena sumber daya manusia terdidik tidak dimanfaatkan optimal.

          Yang lebih parah lagi, banyak perusahaan mengeluh sulit mencari talenta berkualitas, padahal mereka sendiri yang enggan "membudidayakan" talenta dari fresh graduate tersebut. Mereka lupa bahwa karyawan senior yang mereka andalkan hari ini juga dulunya adalah fresh graduate yang diberi kesempatan oleh perusahaan lain. Mindset "instan" dalam recruitment ini harus diubah. Perusahaan perlu menyadari bahwa investasi pada fresh graduate adalah investasi jangka panjang yang bisa menguntungkan.

          Di sisi lain, fresh graduate juga tidak boleh pasif menunggu kesempatan datang. Banyak cara kreatif untuk "mencuri start" mendapatkan pengalaman, seperti magang, freelance project, volunteer work, atau bahkan membuat proyek personal bisa menjadi modal awal. Era digital juga membuka peluang tak terbatas untuk menunjukkan kemampuan melalui portfolio online, media sosial profesional, atau platform freelancing. Yang penting, fresh graduate harus proaktif membangun personal branding dan networking sejak masih kuliah.

          Pemerintah juga punya peran penting dalam memecahkan kebuntuan ini. Program Kartu Prakerja, skema insentif pajak untuk perusahaan yang merekrut fresh graduate, atau kewajiban perusahaan besar untuk mengalokasikan persentase tertentu untuk entry level position bisa menjadi solusi. Beberapa negara sudah menerapkan kebijakan serupa dengan hasil positif.

           Universitas juga harus introspeksi, dimana kurikulum yang terlalu teoritis tanpa praktik industri yang memadai membuat lulusan kurang siap kerja. Program magang wajib, kerjasama dengan industri, dan pelatihan soft skills harus diperkuat. Jangan sampai mahasiswa baru sadar pentingnya networking dan pengalaman praktis setelah wisuda.

           Solusi terbaik adalah kolaborasi semua pihak. Perusahaan harus lebih open minded memberi kesempatan pada fresh graduate dengan program training yang terstruktur. Fresh graduate harus lebih kreatif dan proaktif mencari pengalaman alternatif. Pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang mendukung, dan universitas harus mempersiapkan lulusan yang job ready.

           Lingkaran buruk "pengalaman butuh kerja, kerja butuh pengalaman" bisa diputus jika semua pihak mau berkompromi dan berkolaborasi. Masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda terdidik ini. Sayang sekali jika potensi mereka terbuang percuma hanya karena masalah sistemik yang sebenarnya bisa diatasi bersama. Sudah saatnya kita berhenti saling menyalahkan dan mulai mencari solusi konstruktif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun