Di tengah era digitalisasi yang semakin maju, media sosial tidak hanya menjadi ruang untuk bersosialisasi, tetapi juga sebagai tempat pertarungan identitas dan nilai-nilai sosial. Belakangan ini, media sosial di Indonesia sedang  ramai dengan tagar #EmbraceYourSkin yang sangat cepat menjadi fenomena viral di berbagai platform, dimana gerakan ini mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai warna kulit asli mereka, apapun warnanya. Gerakan ini muncul sebagai bentuk resistensi terhadap standar kecantikan yang sudah lama mendominasi masyarakat Indonesia, yaitu preferensi terhadap kulit putih atau terang sebagai simbol kecantikan yang ideal.
Gerakan #EmbraceYourSkin bermula dari unggahan beberapa influencer seperti TikTok maupun Instagram yang menolak menggunakan filter pemutih kulit. Mereka dengan bangga menunjukkan warna kulit asli mereka yang sawo matang atau bewarna cokelat yang pada dasarnya ini adalah warna kulit orang Indonesia. Video-video mereka mendapat banyak dukungan dari netizen, terutama anak muda yang mulai sadar akan pentingnya menerima diri sendiri. Gerakan ini juga didukung oleh beberapa artis terkenal yang selama ini dikenal memiliki kulit gelap namun sukses di industri hiburan. Mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana mereka pernah merasa tidak percaya diri karena warna kulit, tetapi akhirnya bisa menerima dan mencintai diri sendiri.
Semakin hari, semakin banyak orang yang ikut mengunggah foto dengan tagar #EmbraceYourSkin. Mereka tidak lagi menggunakan filter atau aplikasi edit foto untuk membuat kulit mereka terlihat lebih putih.
Analisis Dalam Kacamata Sosiologi
Dari sudut pandang sosiologi, gerakan #EmbraceYourSkin merupakan bentuk resistensi sosial terhadap dominasi standar kecantikan yang dipengaruhi oleh kolonialisme dan kapitalisme.
Kolonialisme dan Standar Kecantikan
     Sejarah panjang penjajahan di Indonesia telah mempengaruhi cara masyarakat Indonesia dalam memandang tingkat kecantikan. Dimana penjajah yang kebanyakan berkulit putih dianggap sebagai kelas sosial yang lebih tinggi. Hal ini secara tidak langsung membentuk pemikiran bahwa kulit putih lebih baik dari pada orang berkulit gelap. Praktik kolonial ini menciptakan apa yang disebut sosiolog sebagai "Colorism" atau diskriminasi berdasarkan warna kulit dalam masyarakat Indonesia.
     Masyarakat Indonesia masih mewarisi sistem nilai ini, dimana orang dengan kulit lebih terang mendapat perlakuan istimewa atau bahasa kasarnya memiliki "privillage" dan memiliki lebih banyak kesempatan sosial. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori "internalized colonialism" dimana kelompok yang dijajah mulai menginternalisasi nilai-nilai penjajah dan menganggapnya sebagai standar yang lebih baik.
Kapitalisme dan Industri Kecantikan
     Industri kecantikan memanfaatkan ketidakpercayaan diri masyarakat Indonesia ini terhadap warna kulit mereka. Iklan-iklan produk pemutih kulit yang sering kali menampilkan pesan bahwa kulit putih adalah syarat untuk sukses dalam karir, percintaan, dan kehidupan sosial ini sangat pada banyak orang. Orang-orang rela menghabiskan uang untuk membeli produk pemutih kulit, bahkan yang berbahaya bagi kesehatan.
     Dari perspektif ekonomi-politik, fenomena ini merupakan contoh nyata bagaimana kapitalisme menciptakan dan mengeksploitasi ketidakamanan sosial untuk keuntungan. Menurut teori komodifikasi tubuh, kapitalisme membuat tubuh menjadi komoditas yang bisa dimodifikasi untuk memenuhi standar yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Riset pasar mencatat bahwa industri pemutih kulit di Indonesia bernilai triliunan rupiah setiap tahunnya, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh standar kecantikan ini.
Media dan Representasi
     Media juga berperan dalam membentuk standar kecantikan. Adanya sinetron dan film Indonesia yang sering kali menampilkan pemeran utama dengan kulit putih, sementara pemeran dengan kulit gelap biasanya mendapat peran antagonis atau pembantu. Hal ini memperkuat perspektif bahwa kulit putih lebih di istimewakan daripada kulit gelap.
     Dalam teori representasi sosial, media berfungsi sebagai agen sosialisasi yang sangat kuat dalam membentuk persepsi masyarakat. Efek kultivasi menjelaskan bagaimana paparan media yang terus-menerus akhirnya membentuk realitas subjektif penonton. Ketika media secara konsisten menggambarkan kulit putih sebagai yang lebih diinginkan, masyarakat mulai menerima ini sebagai kebenaran sosial.