Kala  itu kita berkhidmat, di sebuah tempat suci saat matahari sepenggalah  membunuh bising yang riuh dengan sorak luapan kata-kata. Waktu  menari-nari di balik kemilau cakrawala yang berjarak. Merayu dengan siuh  dan manja pada langit keemasan, putih dan penuh kebiru-biruan yang pada  akhirnya membuat naluriah semua orang memperhatikan lekak-lekuknya yang  molek.
Kala itu aku lebih memilihmu alira. Melihatmu terjaga  daripada melihat matahari yang mau tenggelam. Engkau lebih indah dari  matahari itu, bahkan dari semua matahari yang pernah ada di sepanjang  peradaban manusia.
Kala itu semua orang berpandang sinis penuh  curiga pada kita. Mungkin mereka bertanya, mengapa hanya kita berdua  yang tak tertarik melihat ricik sunset yang berjatuhan di taman-taman  arloji penyekap waktu. Atau mungkin juga mereka iri melihat kita berpaut  seuntai rindu pemberian sang pemilik tasbih.
Sengaja juga aku  memilih tidak beranjak dari altar ternyaman ini saat orang-orang  histeris gila ketika kemolekan matahari itu klimaks tutup usia. Kala itu  engkau benar-benar begitu indah, sayang. Matamu memikat. Garismu  menawan, kata-katamu begitu syahdu membuat aku jatuh cinta padamu.  Alira, engkau adalah satu dan kau yang tak terhingga. Â
***
Kala  itu misa natal akan segera berakhir. Orang-orang ramai lalu lalang di  depan gerbang gereja, seberang menyeberang, di tempat aku dan alira  berdiri. Raut wajah bahagia, senyum ceria yang terkoneksi atas kehadiran  kudus telah mereka dapatkan.
Kala itu magrib menutup usia purna  matahari yang molek itu. Deras membisikannya ke segala penjuru. Masuk  melalui cela terkecil di ruang-ruang sembunyi yang tak terdeteksi  manusia, malaikat dan dewa.
"...hayya ala sholah..." takmir masjid meneruskan lafal adzan. Seruan Tuhan telah datang, alira. Ayo tunaikan kewajiban kita.
Air  membasahi wajahmu, mengusap kedua tanganmu sampai siku. Menyibak  bulu-bulu lembut di keningmu. Oh alira, aku semakin cinta padamu.  Sungguh. Saat menatapmu rasanya ada serpihan surga di sana. Nanti  selesai sholat angkat tinggi kedua tanganmu, karena tanpa itu tidak ada  keberanianku merayu Tuhanmu.
Kala itu waktu adalah purna bagiku.  Gemerlap cahaya kota dan lampu yang menjadi binar tersesak oleh rintik  hujan memaksaku untuk mendekapmu lebih dalam. Lebih dalam. Alira, kita  tidak butuh mewah asal sesuai syariat. (NDE)