Mohon tunggu...
Dhewa DarmanaPutra
Dhewa DarmanaPutra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

ngegame dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mencegah Fundamentalisme Dengan Mempertahankan Identitas Bangsa

18 Juni 2022   23:59 Diperbarui: 19 Juni 2022   00:31 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Indonesia untuk pertama kalinya sejak Februari 2020 berita mengenai Covid19 yang telah didengar menginfeksi masyarakat Wuhan, China dan menyebar ke berbagai negara di dunia masih belum memiliki mitigasi bencana wabah virus. Terbukti pada 2 Maret 2020 melalui Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa terdapat 2 orang yang dinyatakan positif Covid- 19. Percepatan pandemi Covid-19 dapat dilihat signifikan bergerak ke atas dan menghasilkan

.urutan tertinggi di Asia Tenggara walaupun Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan jaga jarak sosial (social distancing), penutupan sekolah dan tempat kerja, serta menutup penerbangan internasional (Olivia S. et.al, 2020). Kendati demikian, kebijakan jaga jarak sosial (social distancing) dirasakan belum berjalan dengan efektif. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya lonjakan kasus positif Covid-19. Menurut Aisyah et.al (2020) dalam penelitiannya menemukan dalam 40 hari pertama infeksi wabah Covid19 di Indonesia telah mencapai total akumulatif sekitar 111.450 kasus. Hal ini menjadi kekhawatiran ketika kebijakan jaga jarak sosial (social distancing) belum menunjukkan tren positif dan efektif menghambat penyebaran Covid-19.
Kemudian, Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Kebijakan PSBB ini berimplikasi dengan diberlakukannya penutupan sekolah, tempat kerja, fasilitas umum, beserta kegiatan yang berkaitan sosial budaya dan agama untuk dihentikan sebagai upaya mencegah kerumunan yang berpotensi menimbulkan penyebaran Covid-19. Walaupun kebijakan 5 PSBB ini berlangsung beberapa kali tidak menunjukan hasil signifikan penurunan angka Covid-19 di sejumlah daerah Indonesia. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor minimnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dan tidak menerapkan protokol kesehatan (Purnama & Susanna, 2020). Penanganan Covid-19 di Indonesia juga terlambat ketika di awal Pemerintah Indonesia belum menampilkan data akurat lokasi epidemi Covid-19 di sejumlah daerah Indonesia dan lokasi karantina. Keterbatasan informasi yang sampai di masyarakat juga mendorong keprihatinan kurang terjalinnya transfer komunikasi pengetahuan dan edukasi mengenai Covid-19 (Qodir Z et.al, 2020). Problem ini mengakibatkan internalisasi edukasi mengenai Covid-19 kepada masyarakat tidak berjalan secara efektif.
Menurut Aminah S et.al (2021) dalam studinya mengenai hambatan implementasi kebijakan penanganan Covid-19 di Indonesia bahwa peningkatan kasus Covid-19 juga didukung oleh penerapan kebijakan yang kurang responsif oleh Pemerintah Indonesia pada saat awal penyebaran pandemic Covid-19. Terdapat permasalahan inkonsistensi izin yang diberikan terkait PSBB untuk sejumlah daerah mengakibatkan terlambatnya pencegahan penyebaran Covid-19. Hal ini disebabkan oleh masalah birokrasi dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Di samping itu, keselarasan antar pejabat publik kurang sinkron dalam memberikan informasi mengenai Covid- 19 dan cenderung mengakibatkan salah persepsi di masyarakat. Problem ini didukung dengan adanya berita hoaks yang semakin meningkat. Peran pemimpin di tingkat pusat dan daerah sejatinya memiliki peran yang sangat penting dalam merespon dan menanggulangi penyebaran Covid-19 di dalam masyarakat. Ia juga menambahkan pemimpin pusat dan daerah belum memiliki kepemimpinan krisis (crisis leadership) dengan respon cepat tanggap mengambil kebijakan dalam menangani Covid-19. Hal ini tampaknya berbeda dengan negara di bagian sebelah selatan Indonesia, yaitu Negara Australia.
Pada awalnya lonjakan kasus positif Covid-19 di Australia terjadi mulai bulan Maret hingga awal bulan April tahun 2020. Per tanggal 15 Oktober 2020, jumlah kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 yaitu 27.362 jiwa. Sedangkan jumlah kasus orang yang meninggal akibat Covud-19 sebesar 904 jiwa (Worldmeters, 2020). Menyikapi urgensi tersebut,

Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan awal dengan membatasi perkumpulan pada satu tempat tertentu hingga 50 orang. Perayaan dan tempat ibadah diberhentikan sementara. Sedangkan urusan kesehatan Pemerintah Australia dalam rangka penanganan wabah COVID-19 dilimpahkan ke masingmasing negara bagian tetapi masih mengacu pada negara federal. Respon kepatuhan warga negara terbentuk karena pejabat setingkat gubernur dan chief medical officer memaparkan informasi terbuka berupa data-data terkait Virus Covid-19.
Keterbukaan informasi Pemerintah Australia mengenai virus Covid-19 ditampilkan pada website resmi Departement of Health atau bisa diakses di www.health.gov.au. Publik dapat mengakses data mulai dari total kasus, kasus berdasarkan umur, dan pengetahuan mengenai Covid-19. Pemerintah Australia gencar memberikan sosialisasi berupa himbauan melalui laman resminya yaitu dss.gov.au terkait dengan pencegahan akan penularan virus Covid-19. Himbauan dapat berupa keharusan menjaga jarak dengan orang di sekitar, informasi mencuci tangan setiap 6 hari dengan menggunakan sabun selama 20 detik pada air mengalir, larangan untuk menyentuh area wajah, informasi terkait anjuran atau etika ketika bersin, dan apa yang harus dilakukan ketika sakit. Himbauan terhadap warga diterjemahkan ke dalam 53 bahasa untuk memudahkan kebijakan mitigasi, terutama untuk imigran Australia.
Dari segi ekonomi, Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan melalui insentif- insentif yang telah ditetapkan. Kebijakan tersebut berupa pemberian subsidi upah maksimal AU$1.500 ke karyawan/dua minggu. Kemudian, memberikan insentif kesehatan senilai $2,4 miliar untuk melindungi semua warga Australia dan menyediakan dana senilai $669 juta untuk memperluas layanan telehealth bagi semua warga Australia sehingga setiap orang memiliki akses untuk mendapatkan layanan kesehatan berkualitas ketika berada di rumah. Di samping itu, Pemerintah Australia memberikan dukungan kepada orang Australia yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, dan seksual, menyediakan $74 juta untuk mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan orang Australia, serta mendanai pengiriman obatobatan ke rumah- rumah bagi warga yang tidak mendapatkan obat di apotek terdekat.
Didukung oleh pengoptimalan Undang-Undang Birosekuriti, kebijakan travel ban bagi pendatang baru dengan karantina selama dua minggu tanpa pungutan biaya, penerapan pembatasan perjalanan jalur udara, darat, dan laut; meningkatkan pengawasan pada kawasan perbatasan, dan mengamankan masker kesehatan menjadikan kebijakan dan penanganan Virus Covid-19 tergolong sangat baik. Data menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan pasien di Australia sangat tinggi sekitar 96,52%. Koordinasi anatara pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat sangat terkendali. Peran pemerintah memantau menyelediki pihak-pihak yang telah melakukan kontak dengan pihak yang tertular. Tenaga medis memiliki kewajiban dan otoritas untuk merawat pasien yang dinyatakan positif terjangkit Covid-19 dengan melakukan pengujian di laboratorium. Partisipasi masyarakat seperti terinformasi melalui peringatan kesehatan Covid- 19 yang diperbarui oleh pemerintah Australia memantau dan memastikan kondisi keluarga, teman, dan tetangga dalam keadaan baik. Mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dan menjadi traveler yang cerdas dengan membaca panduan bagi traveler yang telah dituliskan oleh pemerintah Australia ketika masa pandemi Covid-19.

Komparasi penanganan Covid-19 di antara Indonesia dengan Australia tampaknya memberikan gambaran kesiapan pengelolaan manajemen bencana non alam mengenai wabah Covid-19. Indonesia di awal masih belum melakukan strategi kebijakan yang adaptif untuk merespon problem Covid-19 yang mulai menyebar ke berbagai negara. Berbeda dengan Australia yang memiliki kapasitas unggul dalam mengelola penyebaran Covid-19.
 Indonesia untuk pertama kalinya sejak Februari 2020 berita mengenai Covid19 yang
 telah didengar menginfeksi masyarakat Wuhan, China dan menyebar ke berbagai negara di dunia
 masih belum memiliki mitigasi bencana wabah virus. Terbukti pada 2 Maret 2020 melalui
 Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa terdapat 2 orang yang dinyatakan positif Covid-
 19. Kebijakan PSBB ini berimplikasi dengan diberlakukannya penutupan sekolah, tempat kerja,
 fasilitas umum, beserta kegiatan yang berkaitan sosial budaya dan agama untuk dihentikan
 sebagai upaya mencegah kerumunan yang berpotensi menimbulkan penyebaran Covid-19.
 Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor minimnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi
 peraturan yang telah ditetapkan dan tidak menerapkan protokol kesehatan (Purnama & Susanna,
 2020). Terdapat permasalahan inkonsistensi izin yang diberikan terkait PSBB untuk sejumlah
 daerah mengakibatkan terlambatnya pencegahan penyebaran Covid-19. Problem ini didukung
 dengan adanya berita hoaks yang semakin meningkat. Per tanggal 15 Oktober 2020, jumlah
 kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 yaitu 27.362 jiwa. Sedangkan jumlah kasus orang
 yang meninggal akibat Covud-19 sebesar 904 jiwa (Worldmeters, 2020).
 Pemerintah Australia gencar memberikan sosialisasi berupa himbauan melalui laman
 resminya yaitu dss.gov.au terkait dengan pencegahan akan penularan virus Covid-19. Himbauan
 dapat berupa keharusan menjaga jarak dengan orang di sekitar, informasi mencuci tangan setiap
 6 hari dengan menggunakan sabun selama 20 detik pada air mengalir, larangan untuk menyentuh
 area wajah, informasi terkait anjuran atau etika ketika bersin, dan apa yang harus dilakukan
 ketika sakit.
 Dari segi ekonomi, Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan melalui insentif-
 insentif yang telah ditetapkan. Didukung oleh pengoptimalan Undang-Undang Birosekuriti,
 kebijakan travel ban bagi pendatang baru dengan karantina selama dua minggu tanpa pungutan
 biaya, penerapan pembatasan perjalanan jalur udara, darat, dan laut; meningkatkan pengawasan
 pada kawasan perbatasan, dan mengamankan masker kesehatan menjadikan kebijakan dan
 penanganan Virus Covid-19 tergolong sangat baik. Peran pemerintah memantau menyelediki
 pihak-pihak yang telah melakukan kontak dengan pihak yang tertular. Indonesia di awal masih
 belum melakukan strategi kebijakan yang adaptif untuk merespon problem Covid-19 yang mulai
 menyebar ke berbagai negara.
 Berbeda dengan Australia yang memiliki kapasitas unggul dalam mengelola penyebaran
 Covid-19. Sejalan dengan konsep dynamic governance, di masa pandemi ini Pemerintah
 tentunya dituntut untuk dapat membuat keputusan yang sesuai dengan perubahan yang ada guna
 meminimalisir jumlah kasus penyebaran Covid-19 di negaranya masing-masing. Dynamic
 governance berperan sebagai solusi yang memungkinkan sebuah institusi dalam menghadapi
 setiap perubahan serta tuntutan mayarakat yang berkembang. Selain itu, kondisi dari dynamic

 governance sendiri dapat dicapai dengan kebijakan adaptif atau adaptive policy yang mana
 menurut Walker, Rahman, & Cave (2001) diartikan sebagai sebuah metode sistematis untuk
 dapat mengembangkan serta menerapkan kebijakan dari waktu ke waktu yang didasarkan pada
 serangkaian batasan dan tujuan yang jelas dan yang melibatkan pemantauan lingkungan,
 pengumpulan informasi, dan penyesuaian serta penyesuaian kembali dengan keadaan baru.
 Kebijakan tersebut hanya melibatkan pengambilan tindakan yang diperlukan saat ini dan
 melembagakan proses untuk pembelajaran dan tindakan selanjutnya. Seperti yang telah
 dijelaskan Mayangsari (2014) yang mana terdapat dua kunci keberhasilan Pemerintah Australia
 dalam menangani kasus penyebaran Covid-19 ini, yakni keputusan mereka dalam menutup
 perbatasan internasional dan lokal, hal ini seiring dengan adanya kebijakan ban travel yang
 dilakukan oleh Australia pada tanggal 1 Februari 2020.
  Kebijakan ini terbukti sangat efektif yang mana sekitar 87% mampu dalam mengurangi kasus serta kematian yang diakibatkan oleh Covid-19 (Costantino, Heslop, & MacIntyre, 2020). Kedua, koordinasi yang baik antar pemerintah pusat dan negara bagian yang mana mampu menghasilkan instruksi yang tegas dan jelas bagi masyarakat. Hal ini tidak seperti sebelumnya yang mana kendali atas seluruh kebijakan ada dalam otoritas Pemerintah federal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun