Pintu Pagar yang Menunggu
Namanya Dea, siswi kelas sembilan yang selalu datang lebih awal, bahkan menjadi orang pertama di kelas. Namun, hari Senin itu berbeda.
Perempuan itu terbangun pukul lima pagi, matanya mengerjap pelan, mencoba bangkit dari tempat tidur. Setelah mandi, azan Subuh berkumandang, suaranya menggema di seluruh penjuru kampung. Dea bergegas mengambil wudu dan menunaikan salat.
Setelah salat Subuh, ia berjalan ke dapur untuk sarapan agar tidak pusing di sekolah. Waktu berlalu begitu saja karena ia terlalu asyik makan. Dea menyelesaikan sarapannya, menyandang tas, dan melihat jam. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Ia langsung bergegas menuju tempat biasa ia menunggu ojek langganannya.
Angin pagi berhembus sepoi, dan jalanan masih sepi. Hanya satu atau dua orang yang lewat. Penantiannya berlangsung selama sepuluh menit. Jalanan mulai ramai, dipenuhi suara pejalan kaki dan motor, tapi ojek yang ditunggu tak kunjung datang.
Tubuhnya gemetar, dahinya mengerut cemas, dan ia menggigit bibir. Dea tidak ingin terlambat ke sekolah, jadi ia memutuskan untuk berlari ke pangkalan ojek terdekat. Jarak lima ratus meter ia tempuh dengan napas tersengal dan kaki pegal. Saat sampai, ia melihat seorang pria berjaket dan berhelm di atas motor. Dea langsung memanggilnya, dan kecemasannya langsung menghilang. Senyum lega merekah di bibirnya.
Namun, senyum itu langsung pudar. Ternyata pria itu bukan tukang ojek, melainkan orang yang sedang menumpang motornya sementara. Dea kembali menunggu, berharap ada ojek lain yang datang. Waktu terus bergerak. Kendaraan hilir mudik, menyisakan Dea yang menunggu. Kepalanya tertunduk, bibirnya bergetar, dan ia merasa sudah tidak ada harapan lagi.
Tepat saat rasa putus asa itu muncul, sebuah motor berhenti di hadapannya. Dea mengangkat kepala, dan matanya melebar melihat siapa pengendaranya. Orang itu tersenyum sambil membuka helm, menunjukkan wajah yang sangat familiar. "Dea, kok belum berangkat? Kata ayahmu kamu sudah ditunggu di pangkalan," sapanya. Itu adalah paman yang sering mengantarkannya saat kecil.
Dea akhirnya naik dan tiba di sekolah. Namun, ia tetap terlambat. Setelah upacara, beberapa murid dipanggil ke tengah lapangan, termasuk Dea. Mereka dihukum berjalan jongkok dari ujung ke ujung sebanyak dua kali. Dea harus menerima konsekuensi itu. Kakinya terasa remuk dan kram.
Semenjak itu, kaki Dea selalu sakit selama tiga hari. Namun, rasa sakit itu mengajarkannya sesuatu. Ia tidak pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama. Hari demi hari berlalu, Dea kembali menjadi siswi yang datang paling awal di kelas.
Alur Dalam Cerpen Tersebut Adalah Alur Maju (progresif).