Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Luka-luka Alam Demi Sebutir Intan

1 Februari 2016   11:15 Diperbarui: 1 Februari 2016   11:55 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Area tambang di Martapura saat dilihat dari udara 9dok.pri)."][/caption]Saya baru tersadar saat burung besi ini lepas landas dari Bandar udara Syamsudin Noor Banjarmasin menuju Jakarta. Sesaat sebelum meninggalkan pulau Kalimantan dan melayang di atas laut Jawa saya melihat pemandangan yang cukup miris. Dari sisi jendela sebalah kanan, mata saya memandang tanah-tanah yang yang dijadikan kolam-kolam raksasa. Air berwarna kuning mengalir menuju sungai-sungai besar dan akan bermuara di laut jawa. Saya teringat, kemarin siang baru saja menyambangi kolam-kolam tersebut, yakni Cempaka–Martapura.

Siapa yang menyangka batu-batu mulia yang memancarkan keindahan itu diperoleh dengan cara yang kejam terhadap lingkungan. Martapura terkenal dengan tambang intan dan bebatuan mulia. Siapa dapat menampik keindahan batu intan, kecubung, red borneo dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun, saya kira tidak banyak yang tahu bagaimana mengeluarkan batu-batu cantik tersebut dari perut bumi Kalimantan. Datsun gp+panca yang saya tumpangi dalam rangkaian Datsun Risers Expedition, bergerak perlahan menyusuri jalan tanah yang berlumpur. Dari perjalanan ini, saya mengatahu bagaimana sebernarnya yang terjadi untuk mencari harta terpendam di Martapura.

[caption caption="Lahan yang dulu sawah atau kebun berubah menjadi kubangan kolam raksasa atau tumpukan onggokan batu, saat alih fungsi lahan menjadi tambang (dk.pri)"]

[/caption]Lahan-lahan produktif yang sebelumnya tanah untuk sawah, atau kebun kemudian berubah menjadi areal tambang yang diklaim menjajikan. Para pemilik lahan akan berubah pikiran saat gelimang uang menghampiri saat ada yang mengatakan dibawah tanahnya ada intan atau emas. Dicapailah sebuah kesepakatan, 15% penghasilan akan menjadi milik pemilik lahan dan sisanya milik penambang. Urusan lahan menjadi rusak atau mencemari tempat lain bukan menjadi soal, karena lahan di sekitarnya juga menjadi area tambang.

Peti (penambang tanpa ijin) lebih halus jika dibanding penambang liar akan mencari titik-titik lahan tambang baru saat area tambangnya semakin tidak menjanjikan. Mencari lahan tambang baru cukup dengan kesepakatan pemilik lahan dan oknum-oknum tertentu, setelah itu langsung operasional. Berbeda dengan tambang yang dikelola oleh sebuah perusahaan yang harus mengantongi ijin yang begitu ketat dan sulit ditambanh lagi bagi hasil dengan pemerintah dan membayar pajak. Peti sama sekali tidak menghiraukan itu semua, yang mereka cari adalah ada apa didalam perut bumi.

[caption caption="Sekelompok penambang yang sedang melakukan aktivitas penambangan dan pendulangan di Cempaka-Martapura (dok.pri)."]

[/caption]Apakah Peti tidak berdampak bagi lingkungan? Usaha tambang pastilah memiliki dampak bagi lingkungan. Merusak lingkungan adalah salah satu dan satu-satunya cara untuk mengeluarkan harta berharga dari dalam perut bumi. Tambang yang baik akan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan bahkan akan mengembalikan seperti semua, tetapi yang tidak bertanggung jawab akan tinggal gelanggang begitu saja.

Acapkali masyarakat sekitar akan menerima dampak dari proses tambang tersebut. Air sungai menjadi keruh, banjir lumpur, air yang tercemar dan jika musim kemarau jalanan berdebut adalah beberapa dampak langsung yang dirasakan. Mungkin ada proses lain yang dampaknya butuh waktu yang lama untuk dirasakan. Penggunaan bahan-bahan kimia untuk mengikat butiran-butiran emas dinilai berbahaya bagi lingkungan jika lepas ke perairan. Sianida, merkuri adalah bahan-bahan kimia yang familiar bagi para penambang untuk mencari emas.

Para penambang kadang tidak memikirkan apa yang terjadi dari lepasnya material kimia yang bersifat toksit tersebut. Beberapa penambang di Cempaka Martapura sepertinya tidak peduli dan kurang paham akan dampak jangka panjang dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut. “Yang penting kami dapat emas, hari ini bisa makan, anak bisa terus sekolah dan istri bisa berbelanja” saat ditanya apa yang ada didalam benaknya berkaitan dengan tambang,

[caption caption="Pasir-pasir yang diduga mengandung emas. Butuh bahan kimia seperti sianida atau merkuri untuk memisahkan emas dengan logam lain dan batuan. Jika bahan kimia tersebut lepas ke lingkungan (air/darat) bisa menjadi pencemar yang bersifat racun/toksit (dok.pri)."]

[/caption]Mungkin jika dilihat dari bawah, sepertinya tidak terjadi apa-apa dengan kolam-kolam dari pembukaan tambang ini. Saya terkejut saat dari melihat tambang di Martapura ini dari udara, begitu luas dan tersebar di beberapa titik. Memang Kaliamantan adalah pulau yang dikaruniai dengan harta karun di dalam tanah. Dari Google Earth saya bisa menyaksikan titik-titik tambang terbuka di Kalimantan, begitu luas dan tersebuar dimana-mana.

Saat sungai sudah tercemar, entah nama apa yang cocok buat Kalimantan, masih tetap atau diganti dengan mantankali. Yang pasti ada harga yang harus dibayar dari upaya tambang yang tidak mengindahkan kerusakan lingkungan, Siapa yang membayar dan melunasi, pastilah lingkungan itu sendiri dan yang merasakan dan menanggung adalah masyarakat sekitar. Gemerlapnya perhiasan, kadang tak seindah dengan proses mencari dan dampak bagi lingkungannya, semua ada harga yang harus dibayar lunas.

 

Video bisa dilihat di sini https://www.youtube.com/watch?v=hHwRgA7kAw0

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun