Mohon tunggu...
Dhani Sugesti
Dhani Sugesti Mohon Tunggu... Editor - Penulis Sastra

Penulis Buku Sastra Jingga, Sajak Yang Terlupakan, dan antologi lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak

23 April 2019   22:59 Diperbarui: 23 April 2019   23:11 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Einstein benar. 
Begitu cepat kulintasi ruang dan waktu dalam sekejap waktu. Cepat rambat waktu hidup manusia sama dengan kecepatan cahaya. Dari duduk di dalam anyaman rotan dengan mata melotot waktu umur 2 tahun, berenang di sungai Ciujung lalu terjun bebas dari atas pohon Loa, pulang sore memikul kayu bakar dari kebun bersama Bapak. Dan sekarang aku telah menjadi Ayah, untuk anakku yang masih balita.

Aku sering memperhatikan Bapak duduk di kursi beranda rumah, menikmati kopi dengan kepulan asap rokok, sekarang kursi itu tengah kududuki sama percis seperti Bapak waktu itu, berteman kopi dan asap rokok juga.

Saat otakku mulai bengkak oleh buku-buku karang taruna yang aku baca di usia 5 tahun, tidak sempat kulihat Bapak mengajar karena sudah pensiun tua. Cita-citaku waktu itu ingin jadi pengusaha, tapi nyatanya aku harus ikuti urat takdir menjadi pengajar seperti Bapakku jua. (Tereuh)
Sempat terbersit olehku pikiran lemah.

Apalah artinya hidupku ini, jika hanya ikuti kepulan asap rokok yang merangkak ke atas langit, atau mengalir seperti air dari dataran tinggi menuju lembah masuk ke dalam tanah? Ya, jasad manusia pasti akan kembali ke sana. Sedangkan Ruh, pulang ke langit jingga.

Apa artinya pendidikan sekolah yang kau tempuh tinggi, rumah yang kau bangun, usaha dan harta yang kau kumpul, cinta yang kau obral berganti peran dari satu hati ke hati yang lainnya, lalu kau bangun rumah tangga dan beranak pinak, semuanya menjadi tiada berguna, saat kau telah tiada.

Dari Bapak aku bercermin makna kehidupan.

Di usia hampir 90 tahun, anak-anaknya telah tumbuh dewasa dan tersebar di mana saja. Dia sukses menciptakan kehidupan di dunia sesuai kudratnya. Saat dia rindu, hanya satu dua anak datang menghibur. Saat dia mendengar suaraku mengaji di sampingnya, seperti lilin, air matanya meleleh di setiap sudut mata, yang jarang sekali tercipta selama hidupnya. Aku bangkit ke luar, menghirup udara segar. Bapak akhirnya pergi dengan indah dan tenang, tanpa rasa sakit atau erangan. 

Bi khusnul khotimah.

"Ayah..."

Suara istriku memanggil dari dalam rumah, yang dulu memanggilku "Aa", setelah lahir anak, kenapa dipanggil "Ayah"? Apakah semacam penegasan mewakili anakku itu? Entahlah, aku tak mau pusing dengan panggilan, yang pasti ia sedang minta bantuan untuk gantiin popok. Aku pun beranjak masuk.

Basah.


23/04/2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun