Mohon tunggu...
Dhafin Pradana Putra
Dhafin Pradana Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030056

Hanya seorang remaja biasa dari Yogyakarta yang bermimpi menggapai semua mimpi-mimpinya. Suka Berdiskusi sambi Bincang-bincang hal yang seru dan gajelas, Berolahraga, Jalan-Jalan Travelling (kalo ada uang hahaha), dan masih banyak lagi. So enjoy the content!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi dan Misteri di Balik Supersemar

11 Maret 2021   19:05 Diperbarui: 11 Maret 2021   19:24 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelantikan dan Penyumpahan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden di hadapan MPRS pada 12 Maret 1967. Sumber koranmakassarnews.com

Tepat hari ini 11 Maret 2021, 55 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 11 Maret 1966 Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal dengan Supersemar menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Awalnya Supersemar hanya sebuah surat perintah untuk mengendalikan situasi dan pemulihan keamanan yang sedang terjadi saat itu, namun tidak ada yang sadar secara tidak langsung menjadi surat pemindahan kekuasaan. Supersemar adalah penanda awal dari berakhirnya kekuasaan Orde Lama kepemimpinan Presiden Soekarno, sedangkan disisi lain menjadi penanda awal dimulainya era Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang berlangsung selama 30 tahun lamanya. Sebelum membahas tentang peristiwa Supersemar, ada baiknya membahas peristiwa Gerakan 30 September/G30S-PKI yang menjadi latar belakang diterbitkannya Supersemar. 

Pada 1 Januari 1962 setelah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur di tahun yang sama Soeharto ditarik kembali oleh Kepala Staf Angkatan Darat kala itu Jenderal AH Nasution ke markas besar Angkatan Darat dan ia mendirikan Cadangan Umum Angkatan Darat (berganti nama menjadi Kostrad di tahun 1963) atas perintah Kepala Staf Angkatan Darat serta ditunjuk menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang pertama. Kemudian memasuki periode tahun 1965 dimana merupakan awal mula puncak karir seorang Soeharto. Saat itu Indonesia tengah mengalami situasi politik panas serta bergejolak yang melibatkan Angkatan Darat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Awal mula konflik tersebut dimulai dengan PKI yang mengusulkan kepada Presiden Soekarno yang pada saat itu juga menjabat sebagai Panglima Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI untuk dibentuknya angkatan kelima, yakni dengan mempersenjatai buruh dan para petani. Pada saat itu PKI yang merupakan Partai Komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan RRC memiliki hubungan yang dekat dengan Presiden Soekarno. Disaat yang sama Presiden Soekarno juga cukup dekat dengan PKI karena mereka (PKI) selalu mendukung nya dan juga mendukung konsep politik Nasakom yang menjadi ciri khas dari Demokrasi Terpimpin. Belakangan alasan PKI mengusulkan dibentuknya angkatan kelima yakni selama peristiwa Dwikora Angkatan Darat dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan operasi militer dibandingkan Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Kemudian hal ini lantas menimbulkan kegusaran dan kecurigaan di kalangan petinggi militer Angkatan Darat. Karena takut akan menimbulkan keributan dan disinyalir akan digunakan sebagai alat propaganda untuk merebut kekuasaan, akhirnya para pimpinan Angkatan Darat menolak usulan tersebut dengan dalih hanya membuang-buang anggaran negara. Sejak saat itu hubungan antara Angkatan Darat dengan PKI semakin memanas. Ketegangan diperparah dengan PKI mengeluarkan isu mengenai adanya Dewan Jenderal di tubuh Angkatan Darat yang bekerja sama dengan CIA akan melakukan kudeta militer kepada pemerintahan Presiden Soekarno yang diperkirakan akan terjadi pada tanggal 5 Oktober 1965 bertepatan saat hari jadi ABRI. Kemudian pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari menjadi puncak konflik tersebut dimana beberapa anggota militer Tjakrabirawa dibantu simpatisan PKI yang sudah dipersenjatai melakukan operasi penculikan dan akhirnya juga menjadi pembunuhan terhadap perwira tinggi Angkatan Darat yang diduga anggota Dewan Jenderal. Operasi ini dinamai Gerakan 30 September (G30S) atau Gerakan Satu Oktober (Gestok). Mereka yang menjadi korban penculikan antara lain Letjen Ahmad Yani selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, Mayjen R. Suprapto, Mayjen M.T Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean yang merupakan ajudan Jenderal AH Nasution. Jenderal AH Nasution yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf ABRI sebenarnya juga menjadi sasaran atau target Gerakan 30 September ini, namun ia berhasil selamat dari peristiwa yang mengerikan tersebut. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad tidak menjadi sasaran operasi Gerakan 30 September. Disini banyak kontroversi mengenai keberadaan Soeharto di malam 30 September kala itu. Ada yang berkata bahwa saat itu posisi Soeharto sebagai Panglima Kostrad dinilai tidak terlalu mencolok dan tak sementereng ketimbang jenderal-jenderal yang lain. Ada juga yang menyebutkan bahwa posisi Panglima Kostrad saat itu tidak strategis karena tidak memiliki kuasa atas sebuah satuan pasukan tetap dan hanya bertugas sebagai pelaksana tugas administratif serta mempunyai tugas jika Panglima Angkatan Darat sedang berhalangan maka yang memegang komando sementara Angkatan Darat adalah Panglima Kostrad sendiri. Dilansir dari Kompas.com, Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya kala itu) yang merupakan salah satu anggota militer loyalis Soekarno yang juga ikut terlibat dalam Gerakan 30 September dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer, Latief membeberkan alasan nya tidak memasukkan nama Soeharto.

“...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran,” kata Latief dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).

Tidak sampai disitu saja, Latief bahkan sempat melapor ke Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Kostrad. Langkah ini dilakukan karena setelah laporan Latief tidak ditanggapi oleh Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah selaku Pangdam Jaya dan Mayor Jenderal Basoeki Rachmat selaku Pangdam Brawijaya. Menurut pengakuan Latief, Soeharto hanya diam mendengar informasi tersebut, bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta. Soeharto sendiri mengakui ia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa Gerakan 30 September. Akan tetapi ia selalu memberikan kesaksian yang berganti-ganti. Dilansir dari Kompas.com, dalam kutipan wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965. Kala itu Soeharto tengah menemani putra bungsu nya Hutomo Mandala Putra yang tengah dirawat karena luka bakar akibat terkena tumpahan sup panas. Namun katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, melainkan malah akan membunuhnya saat itu.

“Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu,” kata Soeharto. Dalam buku otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988) Soeharto malah memberikan pengakuan yang lain. Di buku tersebut ia mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi dengannya.

Esok paginya tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto menerima pesan dari Jenderal AH Nasution bahwa ia masih hidup dan memerintahkan Soeharto untuk mengambil alih komando Angkatan Darat untuk sementara waktu. Jenderal AH Nasution juga memberikan perintah kepada Soeharto untuk segera menghubungi Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya R.E Martadinata, Komandan KKO (Korps Marinir) Mayor Jenderal R. Hartono, serta Kepala Kepolisian Letnan Jenderal Soetjipto Joedodihadrjo dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua akses jalan yang mengarah kesana. Panglima Angkatan Udara Marsekal Madya Omar Dhani tidak termasuk untuk dihubungi karena saat itu ia beserta Angkatan Udara dicurigai ikut terlibat dalam Gerakan 30 September.

Nampak Jenderal AH Nasution (kiri) bersama Mayjen Soeharto (kanan) saat menghadiri Upacara HUT ABRI sekaligus Pelepasan 7 Jenazah Pahlawan Revolusi. (Sumber : Tribun Jatim-Tribun News.com)
Nampak Jenderal AH Nasution (kiri) bersama Mayjen Soeharto (kanan) saat menghadiri Upacara HUT ABRI sekaligus Pelepasan 7 Jenazah Pahlawan Revolusi. (Sumber : Tribun Jatim-Tribun News.com)

Pada pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan RPKAD (Kopassus) yang dipimpin Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Disaat yang sama Jenderal AH Nasution disusul Laksamana Madya R.E Martadinata tiba di markas Kostrad guna membahas situasi Jakarta saat itu dan juga mengenai hasil pertemuan antara Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Udara, serta Kepala Kepolisian dengan Presiden Soekarno di Halim Perdanakusuma. Dari hasil pertemuan di Halim itu, Presiden Soekarno memutuskan untuk menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai Panglima Angkatan Darat yang baru. Jenderal AH Nasution menganggap penunjukan Mayjen Pranoto sebagai Panglima Angkatan Darat oleh Presiden Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah melakukan operasi militer. Dengan pasukan RPKAD dibawah pimpinan Sarwo Edhie Wibowo, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Kemudian Soeharto mengarahkan operasi ke Halim Perdanakusuma yang disinyalir sebagai pusat pergerakan ormas dibawah naungan PKI seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lainnya. Pada 2 Oktober 1965 pukul 06.00, Halim Perdanakusuma berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan. Sehari setelahnya Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi ABRI yang juga merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat sementara menunjuk Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, yang dimana jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat Gerakan 30 September/PKI. Pada 16 Oktober 1965, Soeharto secara resmi dilantik sebagai Panglima Angkatan Darat yang sebelumnya sempat dipegang sementara oleh Mayjen Pranoto Reksosamudro. Kini Soeharto yang memiliki kekuasaan penuh atas Angkatan Darat mulai gencar melakukan penumpasan terhadap simpatisan PKI dan orang-orang yang terlibat dengan Gerakan 30 September. Tak luput juga Soeharto mereorganisasi struktur jabatan di tubuh Angkatan Darat dengan mengganti perwira-perwira militer loyalis Soekarno dengan perwira-perwira militer yang dekat dan loyal kepadanya. Popularitas Soeharto kian melejit dikalangan rakyat dan para mahasiswa karena saat itu ia dianggap bak pahlawan yang menghentikan upaya kudeta yang dilakukan oleh PKI dan Gerakan 30 September. Dilain sisi posisi Presiden Soekarno mulai terpojok dan perlahan tapi pasti dukungan rakyat juga makin berkurang di awal tahun 1966 karena menurut sejumlah pihak Presiden Soekarno juga turut terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September. Pada 10 Maret 1966 situasi kian genting dan memanas. Pada hari itu  juga karena merasa tidak aman Presiden Soekarno beserta tiga Wakil Perdana Menteri nya antara lain, Soebandrio, J. Leimena, dan Chaerul Saleh memutuskan mendatangi markas KKO di Cilandak. Dikutip dari Julius Pour dalam G30S: Fakta dan Rekayasa hal. 292-293 (2013), kala itu Presiden Soekarno bertanya kepada Mayjen Hartono apakah KKO sanggup menghadapi RPKAD yang menurut info intelijen akan menyerbu Istana Negara. “Sanggup!" Jawaban tegas dari Mayjen Hartono kala itu. Dikutip dari Maulwi Saelan dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa hal. 247 (2008) menyebutkan bahwa sebenarnya Mayjen Hartono beserta KKO kala itu menunggu komando dari Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata mengenai tindakan yang harus ditempuh untuk menjaga kehormatan dan martabat presiden. Walaupun posisi Presiden Soekarno kala itu mulai terpojok namun kekuatan dan pengaruhnya di kalangan Angkatan Bersenjata masih perkasa. Aktivis Jusuf Wanandi dalam memoarnya Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 menyebutkan bahwa Soeharto saat itu mengalami dilema dan masih tahu kalau posisi Presiden Soekarno masih cukup perkasa. Maka dari itu Soeharto menyiapkan langkah demi langkah dalam pertarungan politik saat itu. Karena jika salah langkah saja bisa tamat riwayatnya karena tidak sepenuhnya jenderal-jenderal di Angkatan Darat mendukung dan suka padanya. Menurut pakar politik dan militer Salim Said, Soeharto dengan dukungan masyarakat anti komunis nyaris tak menemukan hambatan dalam menghadapi dan menghancurkan PKI dalam waktu singkat. Namun akan beda ceritanya jika berhadapan dengan Presiden Soekarno. Pasukan Angkatan Darat tak sepenuhnya dikuasai oleh Soeharto, apalagi angkatan lainnya. Sebenarnya Presiden Soekarno bisa dengan mudah melucuti Soeharto beserta kelompok pendukungnya dan bahkan memberikan komando untuk bertempur. Presiden Soekarno yang juga masih menjabat sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata memiliki para panglima yang loyal terhadapnya. Sebut saja Marsekal Madya Omar Dhani beserta Angkatan Udara, Angkatan Laut yang dipimpin Laksamana Madya Muljadi, Korps KKO yang dipimpin Mayor Jenderal Hartono, Letnan Jenderal Soetjipto Joedodihardjo dengan jajaran Kepolisiannya, dan belum lagi beberapa Panglima Kodam dari berbagai daerah. Oei Tjoe Tat yang merupakan menteri Presiden Soekarno kala itu dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno menuturkan para panglima loyalis sungguh menghendaki Presiden Soekarno untuk mengeluarkan perintah bertempur. Namun apa daya perintah itu tidak akan pernah keluar dari Presiden Soekarno karena khawatir akan meletus perang saudara di Indonesia. “Bung Karno yang marah bila melihat orang menangkap burung dan mengurungnya, melarang keras menangkap apalagi menembak seekor menjangan di halaman Istana, memang tak bisa melihat darah Indonesia mengalir karena pertarungan antar sesama bangsa sendiri,” tutur Oei.

Presiden Soekarno melantik Letjen Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Letjen Ahmad Yani yang telah gugur.  (Sumber : historia.id)
Presiden Soekarno melantik Letjen Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Letjen Ahmad Yani yang telah gugur.  (Sumber : historia.id)

Dilansir dari Kompas.com, Pagi hari tanggal 11 Maret 1966 sebenarnya merupakan hari yang biasa bagi Presiden Soekarno. Pada hari itu di Istana Negara pada pukul 09.00 diadakan rapat paripurna pertama antar menteri Kabinet Dwikora yang baru saja di reshuffle. Letnan Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat tidak bisa hadir dalam rapat kabinet karena sedang sakit. Kemudian Presiden Soekarno memerintahkan Pangdam Jaya yang baru Brigadir Jenderal Amir Machmud untuk ikut dalam rapat kabinet tersebut sebagai sandera apabila terjadi sesuatu. Baru 10 menit rapat berjalan, Brigadir Jenderal Sabur selaku Komandan Tjakrabirawa mengirim nota ke Brigadir Jenderal Amir Machmud yang isinya menyatakan bahwa ada pasukan liar di luar istana. Namun hal ini tidak digubris oleh Amir Machmud. Brigadir Jenderal Sabur yang sedikit ketakutan mengirim nota langsung kepada Presiden Soekarno yang saat itu sedang memimpin sidang kabinet. Membaca laporan tersebut Presiden Soekarno sedikit panik kemudian meninggalkan rapat bersama Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh menuju Istana Bogor menggunakan helikopter. Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena baru menyusul siang harinya karena harus memimpin rapat kabinet menggantikan Presiden Soekarno. Dalam buku Misteri Supersemar disebutkan pasukan liar yang dimaksud adalah pasukan Kostrad dibawah komando Mayor Jenderal Kemal Idris. “Saya disuruh Pak Harto. Lalu saya memerintahkan Sarwo Edhie untuk menggerakkan pasukannya ke istana untuk menangkap Bandrio.” kata Kemal Idris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun