Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Apa Salahnya Berbicara dengan Bahasa Daerah?

15 September 2020   21:24 Diperbarui: 15 September 2020   21:29 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: sahabatrakyat.com

Sebelumnya, ku mohon maaf karena sebenarnya diriku tidak menguasai satu pun bahasa daerah yang ada di seluruh Nusantara.

Maklum saja, diriku kan berdarah campuran. Dari berbagai suku. Lagi pula, kakek-nenekku sudah pindah ke kampung halaman, jadi gak kenal bahasa dari daerah asal mereka.

Terus, keluargaku, lagi-lagi harus pindah ke daerah yang sekarang kami tinggali. Waktu itu, usiaku menjelang 4 tahun, beberapa bulan sebelum era Reformasi. Praktis, saya hanya bisa ngomong Bahasa Indonesia. Itu saja.

Meskipun begitu, seiring perjalanan hidupku, baik di dunia nyata maupun nyata, lambat laun saya kenal kosakata-kosakata dari berbagai daerah.

Paling sederhananya, kata sapaan dan panggilan. Di dunia nyata, hanya 'Mas' dan 'Mbak' (Jawa) dan 'Uni '(panggilan kakak perempuan Minang) yang kukenal. Selebihnya? Di ranah online tentunya.

Misalnya, pendiri Kompasiana tempat kita semua berlabuh dalam tulisan; Pepih Nugraha. Saya sendiri memanggilnya 'Kang' karena beliau itu orang Sunda. Begitu pula dengan panggilan 'Uda' pada lelaki Minang dan 'Bli' pada pria bersuku Bali.

Namun, ada juga yang dipanggil dengan sebutan dalam bahasa daerah A, kepada orang bersuku B. Misalnya, memanggil 'Kang' pada laki-laki Jawa. Duuh, salah sasaran, ya?

Akan tetapi, kalau melakukan hal itu bisa jadi fatal akibatnya. Dianggap tak sopan. Makanya, menurut yang kubaca di situs tanya jawab terkenal sedunia, di Bali, pria harus dipanggil 'Bli' dan perempuan dengan sebutan 'Mbok'.

Lantas, kalau tak tahu sebutannya dalam bahasa lokal pada orang yang dituju? Lebih amannya, panggil saja 'Pak' atau 'Bu'. Hehe.

Tapi, yang lebih muda, saya jadi bingung. Apakah 'Mas' dan 'Mbak' bisa digunakan untuk yang berusia muda pada lintas suku? Silakan berkomentar, ya.

Yang jelas, beruntung banget yang bisa berbahasa ibu selain Bahasa Indonesia. Jangan malu berbicara dengannya, karena sesungguhnya negeri ini begitu kaya. Jikalau kalian mau melestarikan bahasa daerah yang jumlahnya tujuh ratusan itu, akan tetap ada.

Contoh kecilnya, pas lagi pandemi korona kayak sekarang ini, nih. Pendekatan dengan bahasa daerah membuat penutur dan target yang berbahasa sama, merasa saling "terangkul" tanpa batas dan sekat.

Lalu, apalagi? Tentu saja merasa mudah dipahami karena ada ungkapan yang maksudnya, hanya bahasa itu yang bisa menjawabnya, yakan?

Jangankan bahasa daerah, bahasa asing juga begitu. Memahami Kitab Suci dengan bahasa aslinya yang jelas-jelas asing, rasanya lebih "nikmat" ketimbang memahami maknanya lewat terjemahan.

Belum lagi orang Jepang, Korea atau Tiongkok yang merasa terhubung jika berbicara dan memahami dengan bahasa setempat. Kalau bahasa Inggris? Ya, gimana ya, terasa kurang!

Oh, pantas saja di event-event olahraga internasional, mereka biasanya didampingi penerjemah, biar bisa saling dimengerti.

Bukankah keberhasilan menanamkan hal-hal baru pada masyarakat, karena pendekatan budaya? Buktinya, agama Islam bisa eksis dan diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia, karena metode itu tadi, terus ditaburkan rasa perdamaian tanpa embel-embel perang.

Dan bahasa adalah bagian dan cerminan dari budaya. Dengan itu pula, secara tak langsung akan mengetahui budaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga, ketika menyampaikan sesuatu dengan pendekatan itu, bisa langsung terhubung!

Tapi, kalau orangnya tak bisa bahasa daerah juga? Menyebut dengan sapaan pembuka, itu udah cukup!

Saya sendiri pernah menonton acara Uang Kaget, di mana Mr. Money menyapa dengan "Tabik Pun" kala menginjak tanah Lampung. Apa harus seperti itu?

Menurutku, kalau melakukan hal itu, sama saja menghormati tuan rumah, terlebih lagi pada etnis asli penghuni daerah itu. Namanya aja tamu, kalau mengucapkan sambutan dengan bahasa yang dipakai penduduknya, jadi merasa dihargai.

Jadi, kalau tahu hal itu, apa salahnya berbicara dan menyambut pakai bahasa daerah?

Kata orang-orang, bahasa daerah itu nyawa Nusantara. Bagiku, separuh jiwa Indonesia. Kalau penutur bahasa daerah telah tiada, negeri ini akan kehilangan sesuatu tanda yang bisa dikenalkan pada dunia!

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!                                                                                  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun