Saya bersyukur lembaga kita berkembang menjadi Indonesia mini, lalu kita belajar dari para founding fathers, Indonesia yang bersatu, Indonesia yang bisa bekerjasama, Indonesia yang saling menghargai -Â Jakob Oetama
Saya tak terlalu mengenal Jakob Oetama. Begitu pun dalam pemikirannya, sangat jarang kujelajahi. Berita tentang ulang tahunnya sering kubaca sekilas, habis itu lewat.
Namun, untuk peninggalan terbesarnya, Perusahaan Kompas Gramedia, itu sudah cukup intens. Iyalah, sejak diriku masih anak-anak sudah akrab dengan produk-produknya, Harian Kompas sama majalah Sedap (Sekejap). Itu yang kutahu.
Lalu, saat berada di Palembang, hampir selalu mampir ke Toko Buku Gramedia, hal mewah yang tak mungkin didapatkan di kota kecil dekat rumah.
Bacaannya, jangan ditanya! Selalu berkualitas. Apalagi buku-buku terbitan perusahaan yang berada dalam payung KG. Sudah pasti diseleksi yang ketat tentunya.
Memang sih, semenjak lahir sampai menginjak dewasa, hanya JO -sapaan akrabnya- yang masih hidup. Salah satu pendirinya, P.K. Ojong, telah menghadap Tuhan jauh sebelum saya lahir. Ini untuk saat itu, ya.
Bandingkan dengan tanggal di mana Kompas TV, salah satu unit perusahaannya, menginjak usia 9 tahun. Bukannya syukuran, malah duka yang bersemayam. Tak ada kabar yang datang sebelumnya, langsung diberi berita kejutan yang membawa kesedihan bagi bangsa ini.
Benar, Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, telah berpulang.
Melihat kabar pertama kalinya saat membuka beranda Kompas.com, saya kaget dan langsung mengucapkan kalimat istirja'. Meskipun beliau berbeda keyakinan, bukankah kita semua adalah umat Tuhan Yang Maha Esa?
Hmmm, sebenarnya sudah lama saya ingin menuliskan perihal Kompas Gramedia, tapi selalu ditunda-tunda. Momen kepergian Jakob Oetama seakan memaksaku untuk segera merangkai kata; tentang perusahaan terkemuka di Indonesia itu di mata saya.
Jakob Oetama, Menghidupkan Karakter Kompas Gramedia