Jadi, kalau ingin menulis yang berkualitas, pengetahuannya harus mendalam. Dan ujung-ujungnya, pengolahan datanya melalui berpikir di otak, harus rumit. Tapi, kalau menulis, apa susunan kata-katanya juga harus rumit gitu?
Justru, yang terbaik saat menulis itu, tidak meninggalkan kesederhanaannya. Maksudnya, menulis yang ilmiah sekalipun, tetap harus dikemas dengan berbahasa yang begitu nikmat dan bisa diterima semua kalangan.
Tapi, masalahnya nggak semudah itu, ferguso!
***
Pernah saya membaca Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza karya mendiang Hernowo, di situ ada penyebab mengapa tulisan pada skripsi cenderung kaku, kering, dan tidak mengalir.Â
Eitss, permasalahan ini nggak hanya ditemukan oleh tugas akhir menuju sarjana, lho. Di semua tulisan di berbagai media juga ada yang seperti itu!
Dimulai dengan soal tema tulisan. Tema yang dipilih BUKAN tema yang biasa dia tulis atau tema yang memudahkan dia menulis dengan gaya yang mengalir, renyah istilahnya. Kalau ditambah grafik, data dan fakta, fyuuuh tambah pusing lagi, bingung bagaimana harus merangkaikan kata-katanya.
Misalnya, seorang penulis yang biasa menuangkan pikirannya tentang keluarga, tiba-tiba harus menulis politik di saat pemilu, biar ngetren gitulah. Padahal, dia nggak paham apa-apa tentang partai atau capres-cawapres.
Jadi, kalau kekeuh menulis, ya begitulah hasil tulisannya. Siapa yang mau baca tulisan kayak gitu, kalau gaya tulisan sendiri sudah nggak enak dibaca?
Atau, barangkali penguasaan materi tulisan yang belum sepenuhnya, ya 'kan? Seharusnya, kalau mau menulis dengan rangkaian kata-kata yang begitu sederhana, harus mempersiapkan diri lebih dulu, baca referensinya, pahami, ulangi, mantapkan. InsyaAllah, saat menulis, sudah tidak ada kendala, malah lancar jaya!
Dan, kalaupun sudah menguasai materi tulisan, otaknya encer, pikirannya cerdas dan pengetahuannya mendalam, dia tetap saja kesulitan untuk mengalirkan kata-katanya di layar monitor. Terus, masalahnya dimana?