Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menjadi "Anak Blasteran" Membuatmu Paham akan Keragaman

20 Agustus 2017   16:41 Diperbarui: 22 Agustus 2017   10:51 2715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.amct.ca

Apa pun suku dan agamanya, jika kau terlahir di Indonesia, atau membawa "jiwa" Indonesia di negeri orang, maka kau layak disebut orang Indonesia!

Menjadi "anak blasteran" alias keturunan campuran, merupakan sesuatu yang tak pernah direncanakan. Bagaimana tidak, sebelum saya terlahir ke dunia, jangankan menerka-nerka, membayangkan saja tidak bisa. Maklum, pikiran saya baru bisa berkembang setelah "ditempatkan" di muka bumi, bener 'kan?

Namun, setelah saya mengetahui silsilah sekian lama, akhirnya saya menyadarinya. Punya kedua orang tua yang berdarah campuran, membuatku harus menerima fakta: keragaman itu sesuatu yang tak mungkin diingkari. Dan, keragaman itu merupakan hasil dari perbedaan; "naluri abadi" yang terus ada, dan akan selalu ada.

Melihat Keanekaragaman dari Diri Sendiri

Kalau kalian ingin melihat keragaman, cobalah kalian tengok di lingkungan sekitar kalian! Di kampung-kampung maupun di perkotaan, bahkan di unit daerah paling rendah sekalipun, pasti ditemui berbagai macam suku bangsa. Dan kalaupun hampir semua penduduk di daerah itu adalah satu suku, tentu saja ada beberapa suku yang lainnya, bukan?

Ya, itupun sudah salah satu contoh konkretnya. Namun, saya lebih memilih melihat keragaman dari diri sendiri. Kok bisa? Iya, memang begitulah. Sebagai orang yang kutub temperamennya lebih condong ke dalam diri, sudah pasti saya berkaca dari silsilah keluarga, dan suku-suku apa yang "melekat" pada diri orangtua saya.

Berdasarkan "cerita-cerita" yang diperoleh keluarga, terkuaklah bahwa diriku memang berdarah campuran. Gabungan dari tiga suku yang berbeda, yang tentu saja punya ke-khasan dan kelebihan tersendiri. "Variatifnya" suku Cirebon, orang Sunda yang religius, dan suku Tionghoa yang tampil superior di bidang ekonomi. Walaupun demikian, saya tetap jadi orang biasa-biasa saja, kok.

Nah, ketiga suku-suku itulah yang sudah lama hidup di bumi Nusantara, selama beratus-ratus, bahkan ribuan tahun silam. Tapi, kenyataannya, tiga suku tersebut tetap saja berbaur dalam aliran darah; pada diriku sendiri. Apa itu salah?

Hmmm, sebelum itu, saya jelaskan lebih lanjut, ya!

Memang, pada dasarnya, orang Indonesia itu ramah, dan terbuka terhadap orang-orang asing yang datang. Ya, bisa dibuktikan sendiri ketika ada wisatawan-wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia, di mana mereka merasa jatuh nyaman dengan sikap penduduk lokal yang welcome, di samping alamnya yang begitu menawan. Ditambah lagi dengan budaya-budaya yang disajikan, sudah pasti kunjungan mereka akan semakin berkesan, iyaa 'kan?

Makanya,  jangan salahkan Indonesia kalau dulu sering didatangi bangsa asing. Mulai dari India, Arab, Tionghoa, Eropa, hingga Jepang. Terlebih lagi orang-orang Eropa yang begitu terpikat dengan "kekayaan" negeri kita yang berupa rempah-rempah. Ingat, seperti orangnya, bangsa asing yang mulai "membaur" dengan bangsa kita, tentu mempunyai niat tersendiri. Ada yang berniat untuk berdagang, menyebarkan agama, membeli barang, sampai yang tersadis; menjajah bangsa lain!

Walaupun begitu, kedatangan bangsa asing tentu saja memberi keuntungan tersendiri. Blessing in disguise. Yaitu, bertukar ilmu, pengalaman, keyakinan, sampai menambah keragaman dalam berbagai bidang, salah satunya kuliner. Bahkan, istilah-istilah asing yang digunakan dan diserap, malah bisa memperkaya bahasa kita, dan memberi ciri khas yang tak dijumpai dalam bahasa lain.

Oh ya, kembali lagi soal "pembauran" itu. Interaksi antara bangsa asing dan penduduk lokal, tak jarang bisa berujung pada jenjang pernikahan, dan menghasilkan keturunan. Yaa, namanya jodoh, nggak peduli bagaimana asal-usul dan statusnya, 'kan?

Karena itulah, jangan heran jika banyak orang Indonesia  yang hakikatnya merupakan campuran dari dua atau lebih suku, atau bisa juga merupakan "gabungan" dari suku dan bangsa lain! Malahan, dari gabungan beberapa suku bangsa yang berkumpul di suatu daerah, bisa tercipta suku bangsa baru, misalnya saja, suku Betawi.

Kadang-kadang, kalau orang berdarah campuran tersebut lahir di suatu daerah karena faktor-faktor tertentu, maka mereka sangka, orang yang bersuku daerah tersebut, padahal leluhurnya, bisa jadi di daerah lain, benar bukan?

Ya, begitulah, diriku lahir di kota Pempek, disangkanya orang Palembang. Padahal, itu 'kan hanya semata warga secara teritorial, sedangkan menurut silsikah dan geneologis, gara-gara orangtuaku menikah, jadilah aku "anak blasteran"!

Keragaman, sebagai Ciri Khas dari Negara Indonesia

Sumber gambar: bukubiruku.com
Sumber gambar: bukubiruku.com
Di belahan bumi ini, kebanyakan negara-negara yang ada merupakan negeri berbangsa-bersuku homogen. Mungkin, dengan keseragaman asal-usul mereka, dan ditempatkan di daerah yang sama, mereka akan lebih "menyatukan" untuk saling membantu dan menghargai, dan lebih mudah untuk mencapai cita-cita, demi tujuan bersama.

Namun, di antara negara-negara tersebut, tentu ada negeri yang menonjolkan keunikan tersendiri. Seperti manusia, negara pun punya karakter yang berbeda-beda. Lain sifat, lain pula perlakuannya.

Ya, keunikan sifat itulah yang terdapat dalam negara kita, Indonesia. Memiliki ribuan pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, sudah jelas akan menemui keragaman di sini. Tentunya, tidak cuma keragaman bentang alam yang akan disajikan negeri tercinta ini.

Coba kalian lihat! Dalam satu pulau saja sudah ada puluhan etnis yang muncul, apalagi di pulau lainnya? Makanya, ada beratus-ratus suku bangsa di Indonesia yang tumbuh dan berkembang dengan ciri khasnya, dan enam agama yang diyakini, yang sudah jelas tak bisa disamakan.

Itulah kenapa, dengan keragaman dan perbedaan yang telah terbentuk di negeri ini selama beribu-ribuan tahun, akan menempa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang saling menghargai. Karena sudah terbiasa hidup beragam di negeri ini, saat menginjak "tanah asing" pun, kemungkinan besar tak akan menemui kesulitan berarti, karena hanya satu hal: "Perbedaan? O, sudah biasa!"

Tak heran, negeri kita ini disanjung-sanjung oleh bangsa-bangsa asing karena sikapnya yang punya rasa toleransi. Bahkan, pada berita di mana ketiga pemain bola berdoa dengan keyakinan yang berbeda, itu bukan "barang" yang aneh di sini. Oh, pantesan ya, negara lain menjadikan Indonesia sebagai role model untuk keragaman di muka bumi!

Menjadi Anak Blasteran, Membuatku (dan Kalian) Mengerti akan Ke-Indonesiaan

Seperti yang saya jelaskan dari awal, keragaman adalah "fitrah" dari Indonesia, dan karakter tersebut tentu tak bisa diingkari. Oleh karenanya, setiap orang Indonesia, seyogyanya dituntut untuk menjaga "alam keragaman" itu, dengan berinteraksi dan berteman dengan orang-orang yang tentu punya etnis berbeda.

Jadi, kalau selama ini kalian yang beretnis sama dan bergaul dengan kelompok suku sama, cobalah kalian keluar dari zona nyaman, dan bergaul dengan orang dari suku berlainan. Pasti akan lebih merasakan "suasana keragaman", bukan?

Maka, beruntunglah bagi kalian, wahai orang-orang yang berdarah campuran! Terlahir di keluarga dengan suku-suku berbeda, membuat kalian semenjak kecil terbiasa untuk menerima berbagai hal yang tidak sama, misalnya ayahnya mengenalkan budaya A dan ibunya mengenalkan budaya B kepada anaknya. Akibatnya, selain wawasan kalian semakin bertambah luas dan bisa menguasai bahasa daerah dan asing, kalian akan lebih paham akan perbedaan!

Nah, jangan heran kalau anak-anak blasteran, biasanya akan peka akan keragaman yang ditemui di belahan bumi. "Memaksa" diri mereka untuk lebih menghormati dan menghargai budaya yang berlainan, karena di pikiran anak-anak blasteran, sudah "diprogram" untuk menerima perbedaan, yang kemudian menjelma menjadi sosok yang paling toleran!

Walaupun demikian, kalau orang tuanya tidak mengajarkan budaya tersebut, makanya anak-anak blasteran kurang begitu mengenal budaya leluhurnya, dan pada akhirnya, hanya bisa menggunakan bahasa nasionalnya.

Jadi, bisa jadi pas ada acara nanti, pakai gaya Internasional, dong?

Eittts, jangan salah! Anak-anak blasteran tetap bisa mengikuti adat leluhurnya pada acara-acara sakral seperti pernikahan, jika keluarganya yang terdiri dari bermacam-macam etnis, peduli dan sepakat untuk menggunakan adat tersebut. Misalnya saja siraman dengan adat Jawa, akad nikah pakai adat Sunda, dan resepsinya beradatkan Minangkabau. Ya, itu 'kan sebagai contoh. Yang lain harap disesuaikan yaa..!

Dengan demikian, anak-anak blasteran (bahkan juga yang lain) akan mengerti akan kekayaan budaya itu, yang kemudian akan bertambah paham akan ke-Indonesiaan, betul?

Ohh, sekarang aku mengerti, bahwa keragaman yang ada dalam diri dan sekitarku, membuat aku paham, bagaimana wajah Indonesia yang sesungguhnya!

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun