Di setiap manusia pasti memiliki sifat yang berbeda-beda. Manusia memiliki sifat yang beragam seperti pemarah, penakut, pemaaf, bijaksana, sopan, ramah dan masih banyak lagi. Namun ada sifat yang bisa dimanfaatkan orang lain dengan semena-mena, yaitu sifat sungkan, enggan atau tidak enakan. Memiliki sifat sungkan akan menjadi beban bagi diri kita sendiri, karena kita akan selalu memprioriitaskan orang lain dari pada diri sendiri. Orang itu akan selalu mengatakan "iya" walaupun sebenarnya ingin berkata "tidak" . Mereka terlihat ramah, menyenangkan dan bisa diajak bekerja sama, namun dibalik itu terdapat rasa lelah, canggung dan perasaan  yang tidak diungkapkan. Orang yang memiliki sifat sungkan akan mengalami kebingungan untuk memilih menjaga perasaan orang lain atau diri sendiri, dan hal yang sering dipilih dan sering diutamakan adalah orang lain. Orang sungkan sudah terbiasa untuk tidak ingin membuat orang lain kecewa dan ingin menyenangkan orang lain agar diterima. Â
Gen-Z sering menyebutnya dengan people pleaser. Dia berusaha menghilangkan perasaannya sendiri demi membuat suasana tetap baik. Jika menolak berarti jahat, hal tersebut sudah tertanam dalam dirinya. Pada awalnya mungkin terlihat sepele seperti diminta mengerjakan tugas saat dirinya sendiri sudah memiliki tugas yang menumpuk, rela diganggu pada saat istirahat. Namun hal itu menjadi kebiasaan untuk selalu memprioritaskan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang sungkan atau tidak enakan akan sering terjebak dalam situasi yang melelahkan. Dia bersedia membantu meskipun sedang sibuk, mau diajak pergi padahal dirinya memiliki hal lain untuk dilakukan dan menghadiri suatu acara yang tidak disukai karena takut menyinggung orang lain. Kalimat seperti "nanti kalau dia marah gimana", "nanti dia kecewa" atau "yaudah deh, ga enak juga buat nolak" akan menjadi bayangan yang terus berputar dalam pikirannya seperti mantra.Â
Di mata orang lain dia seperti sosok yang baik dan orang yang rela berkorban, padahal dalam dirinya sedang terjadi pertikaian antara perasaan pribadi dan rasa bersalah yang menghantui. Masalah utama dari sifat sungkan bukan pada niatnya, melainkan pada batasnya. Membantu orang lain merupakan perbuatan yang baik dan mulia, akan tetapi jika bantuan dilakukan dengan terpaksa atau mengorbankan diri secara berlebihan, maka nilai kebaikannya akan memudar. Orang yang selalu menurutiorang lain akan membuat dirinya hilang arah tentang keinginan pribadi, karena sudah terbiasa dikendalikan orang lain. Dia tidak bisa menentukan sendiri suatu pilihan dan akan meminta orang lain untuk yang menentukan. Dan dia akan mengikuti apa yang ditentukan oleh orang lain. Â dia akan hidup berdasarkan ekspektasi lingkungan dan bukan dari keinginannya sendiri. Pada akhirnya akan muncul perasaan lelah yang sulit untuk dijelaskan. Â
Sifat ini juga sering membuat kesulitan membangun hubungan pertemanan yang sehat. Dalam suatu pertemanan atau hubungan kerja, orang yang sungkan sering menjadi pihak yang mengalah. Mereka tidak mau mengutarakan pendapat, karena takut pendapat yang akan diutarakan berbeda dengan pendapat orang lain dan bisa menimbulkan masalah. Akibatnya, komunikasi menjadi tidak jujur dan lebih sering menekan perasaan pribadinya. Dia tersenyum di luar, namun yang ada di baliknya terdapat perasaan kecewa dan sedih di dalam. Dalam jangka waktu yang lama, hal ini bisa menimbulkan perasaan buruk seperti jika menekan perasaan terus menerus, ini bisa jadi bom waktu yang meledak kapan saja. Ketika meledak akan menjadi bentuk marah yang tidak terkendali. Contoh lainnya dia akan menarik diri dari lingkungan sosial karena merasa tidak dihargai. Â
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa sifat sungkan merupakan akar dari rasa takut seperti takut ditolak, takut dianggap egois, takut kehilangan hubungan yang sudah terjalin. Dari yang mereka tahu cinta dan penerimaan datang dari sebuah pengorbanan, bukan dari keberanian untuk jujur. Padahal hubungan yang sehat justru tumbuh dari keterbukaan dan batas yang jelas. Jika kita selalu melakukan yang diinginkan orang lain, orang lain akan menyukai kita karena manfaat yang diberikan kita kepadanya, bukan diri kita yang disukainya. Dan hal yang menjadi kebiasaan adalah bagaimana kita bisa bermanfaat bagi orang lain agar kita bisa diterima olehnya. Â
Kita akan memikirkan bagaimana agar kita bisa bermanfaat bagi orang lain dan orang lain mau menerimanya. Ketika orang lain sudah mau menerima kita karena kita bisa memberikan pengorbanan dan manfaat bagi dirinya, kita akan merasa senang dan puas. Saat kita bisa memberikan keinginan yang orang lain mau, kita akan dianggap ada dan diperlakukan dengan baik. Namun jika kita sudah tidak bisa melakukan keinginan orang lain maka kita tidak akan dianggap lagi dan kemungkinan perlakuan  orang lain kepada kita akan berubah ketika kita bisa bermanfaat dan ketika sudah tidak bermanfaat.Â
Hal yang sering terlupakan adalah bahwa tidak semua orang akan marah atau kecewa pada penolakan yang kita lakukan. Itu hanya pemikiran yang terbayang dalam otak kita dan membuat kita berasumsi jika kita menolak itu berarti kita menyakiti, padahal ada yang bisa memahami penolakan kita. Pada akhirnya jika kita menolak pikiran kita akan selalu terpikir perasaan orang lain "nanti dia kecewa", "kalau dia marah gimana" itu akan selalu melekat dalam kepala kita. Â
Sehingga jika kita berani untuk berkata jujur, kita akan kebingungan dan terkejut "kok dia ga marah", "dia ga kecewa?", "dia menerimanya?". Dan kita menyadari bahwa dunia  tidak akan runtuh hanya karena satu penolakan. Orang yang benar-benar menghargai kita akan menghormati keputusan yang kita buat. Justru orang yang hanya mau kita menuruti dan menerima permintaan dan menginginkan kita versi selalu berkata "iya" yang perlu kita pertanyakan. Â
Belajar untuk mengatakan tidak bukan berarti kita berhenti untuk melakukan perbuatan baik. Justru dari sanalah kebaikan yang lebih sehat mulai tumbuh. Kita bisa menolak dengan cara yang sopan tanpa merendahkan orang lain. Hal itu merupakan bentuk kejujuran dan tanggung jawab pada diri kita sendiri. Dengan berkata tidak pada hal yang tidak sanggup kita lakukan, membuat ruang bagi kita pada hal yang benar-benar penting. Dimulai dari melakukan hal itu membuat kita belajar untuk menyeimbangkan antara memberi dan membatasi diri. Inti dari keseimbangan itu adalah hubungan yang sehat dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Â
Pada proses belajar menolak akan sering muncul perasaan bersalah dalam diri. Setelah melakukan penolakan orang lain, Â kita akan terbayang terus perasaan bersalah selama berjam-jam. Dalam kepala terus memikirkan apakah yang aku lakukan salah ga ya?, apa aku terlalu kasar?, apa nanti dia bakal marah?, apakah ini hal egois?, hal ini wajar kita pikirkan. Karena kita sudah terbiasa dengan menerima permintaan orang lain dan mencoba untuk mengubah kebiasaan dengan menolaknya. Rasa bersalah itu merupakan tanda kita sedang dalam masa tumbuh. Seiring berjalannya waktu rasa itu akan berkurang dan tergantikan dengan rasa lega. Karena kita sudah mau hidup dengan lebih jujur.Â
Satu hal penting yang perlu diingat adalah perubahan kita dari orang sungkan atau tidak enakan tidak harus menjadi orang yang cuek atau tidak peduli. Kita bisa menjadi orang yang memiliki pribadi hangat, peduli dan suka membantu, namun tetap ada batasan yang sudah kita buat. Kita bisa membantu orang lain karena keinginan kita sendiri, bukan karena kita takut terhadap penilaian, maupun perasaan orang lain. Karena kita tahu bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri. Membantu seharusnya menjadi pilihan bukannya menjadi kewajiban yang apabila tidak kita lakukan kita akan dicap sebagai penjahat.Â
Kita perlu mengenali diri kita sendiri agar bisa mencapai titik itu. Kita harus mencari tahu apa yang menjadi penyebab kita tidak bisa melakukan penolakan terhadap orang lain. Apakah karena takut kehilangan teman?, takut dianggap sombong? Atau karena penilaian orang lain merupakan tolak ukur bagi kita, seberapa berguna kita untuk orang lain. Dengan memahami akar masalahnya, kita bisa mencoba untuk mulai melepaskan beban itu sedikit demi sedikit. Kita bisa memulai dari hal kecil terlebih dahulu, seperti menolak ajakan yang tidak ingin kita ikuti, menolak permintaan yang tidak bisa kita lakukan atau hanya sekedar bilang kalau kita perlu waktu untuk memikirkan hal tersebut. Kalimat sederhana bisa menjadi langkah awal kita untuk mencapai kebebasan emosional.Â
Pada sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa tidak semua orang menyadari kalau kita sedang merasa tertekan. Jika kita terus menyembunyikan terus perasaan kita hanya untuk menjaga suasana, maka orang lain akan berpikir kalau semuanya baik-baik saja. Dan mereka akan selalu meminta, selalu mengandalkan, karena mereka tidak mengetahui bahwa diri kita sebenarnya sudah kelelahan. Maka dari itu, penting bagi untuk belajar mengkomunikasikan batasan dengan jelas. Seperti mengatakan "aku ingin bantu, tapi aku masih ada kerjaan lain, kalau nanti bisa?" atau "aku kurang nyaman kalau harus melakukan itu'. Kalimat seperti itu tidak menyakiti, tetapi menegaskan posisi kita.Â
Dalam dunia kerja, sifat sungkan akan menjadi perangkap bagi diri kita sendiri dan bisa menjadi jebakan yang berbahaya. Banyak orang yang akhirnya merasa terjebak dalam beban kerja yang menumpuk karena tidak berani menolak dan mengatakan tidak pada atasan ataupun pada rekan kerja. Mereka mengambil tugas tambahan, melakukan lembur tanpa dibayar atau menanggung kesalahan yang dibuat orang lain hanya demi citra "tim yang solid". Padahal, jika terlalu sering melakukan pengorbanan diri bisa menyebabkan burnout. Burnout merupakan kondisi kelelahan emosional, mental dan fisik yang ekstrem akibat dari stres berkepanjangan yang tidak dapat diatasi yang bisa menyebabkan penurunan motivasi  dan kinerja. Orang burnout hanya akan merasa bahwa hidupnya selalu diisi oleh tuntutan yang tidak pernah berhenti. Dan ironisnya, mereka akan merasa bersalah hanya untuk mencoba beristirahat.Â
Bila dalam hubungan pertemanan atau keluarga, orang sungkan sering menjadi penengah. Mereka berusaha untuk menyatukan semua pihak, menenangkan yang marah dan memaafkan meski harus merasakan sakit. Namun tanpa disadari, hal tersebut membuat mereka kehilangan ruang untuk didengarkan. Karena selalu terlihat kuat dan pengertian terhadap orang lain, mereka jarang mendapat pertanyaan yang mempertanyakan keadaan mereka seperti "bagaimana dengan kamu sendiri?". Mereka sudah terlalu biasa memberi empati kepada orang lain, namun mereka jarang menerimanya. Hingga pada akhirnya suatu hari mereka merakan sepi di tengah keramaian, mereka memang dikelilingi banyak orang namun tidak ada yang benar-benar memahami dirinya.Â
Hal penting yang perlu kita sadari bahwa mengutamakan diri sendiri tidak selalu berarti bentuk egoisme. Egois diartikan sebagai orang yang memikirkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lain, sedangkan menjaga diri berarti memahami batas kemampuan dan kebutuhan pribadi agar bisa tetap sehat, baik secara fisik maupun mental. Orang yang mampu menjaga dirinya akan lebih mampu membantu secara tulus karena keinginan diri sendiri dan menyadari kemampuan yang dimiliki, bukan karena tekanan dan paksaan orang lain. Dengan begitu, kebaikan yang kita berikan menjadi lebih murni dan tulus.Â
Kita juga bisa menerapkan konsep asertivitas yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat dan kebutuhan dengan jujur, tanpa menyerang atau tunduk. Orang yang menerapkan hal tersebut akan tahu kapan harus berkata iya dan kapan harus berkata tidak. Mereka tidak hanya menghormati hak orang lain namun mereka juga menghormati hak dirinya sendiri. Jika ingin mempunyai sifat ini kita harus melatih kebiasaan untuk berani menyatakan pendapat seperti mengutarakan keberatan dengan sopan, atau sekedar jujur bahwa kita sedang lelah dan tidak ingin diganggu. Latihan sederhana itu bisa menjadi fondasi awal kita untuk membuat keseimbangan emosional yang lebih besar.Â
Dalam proses perjalanan untuk menjadi pribadi yang lebih tegas, kita mungkin akan kehilangan beberapa orang di sekitar kita. Akan ada orang yang tidak suka dengan kita karena kita sudah tidak mau menuruti mereka lagi, ada yang kecewa karena kita sudah berubah, hal itu wajar saja. Karena suatu perubahan tidak selalu diterima dengan baik oleh semua orang, terutama oleh orang yang mendapat keuntungan dari diri kita versi lama. Tapi dari situlah kita belajar untuk melihat perbedaan antara hubungan yang tulus dengan hubungan yang bersyarat. Orang yang benar-benar peduli akan menghargai kejujuran kita, bukan hanya ketaatan diri kita.Â
Pada akhirnya, menjadi orang yang sungkan bukan merupakan kesalahan. Itu menjadi tanda bahwa kita masih memiliki perasaan peduli dan peka terhadap orang lain. Namun kepedulian itu perlu diarahkan dengan bijak agar tidak menjadi beban dan tekanan. Dunia memang membutuhkan orang  yang baik, tetapi bukan orang baik yang kelelahan karena terlalu banyak menerima permintaan tanpa bisa menolak, membantu dengan hati tenang, bukan dengan hati yang terbakar dalam diam.Â
Apabila kamu adalah salah satu yang memiliki sifat sungkan, cobalah untuk berhenti sejenak untuk merenungkan dan tanyakan pada diri sendiri, apakah aku melakukan ini karena ingin atau karena takut? apakah aku benar-benar ikhlas melakukan ini atau hanya berusaha untuk menghindari dari rasa bersalah? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa membuat kita membuka jalan untuk menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita. Dan dari sana, kita bisa memulai membangun kehidupan yang lebih jujur, lebih ringan dan lebih damai. Â
Karena pada akhirnya, untuk menjadi orang baik tidak harus selalu menuruti dan mengatakan "iya" kepada orang lain. Terkadang kebaikan sejati justru dimulai dari keberanian untuk bisa menolak ajakan yang tidak kita inginkan dengan berkata "tidak".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI