Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jangan Gaduh Bermedia Sosial

25 Desember 2020   16:50 Diperbarui: 25 Desember 2020   17:14 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada fenomena menarik yang terjadi di negara adidaya Amerika Serikat (AS). Kita tahu sejak pemilihan presiden Barack Obama 2008, media sosial terutama twitter sudah jamak dipakai sebagai alat kampanye. Pemakaian media sosial itu masih dalam ukuran wajar untuk sekelas negara besar seperti AS.

Namun kewajaran penggunaan media sosial untuk kepentingan politik di AS berakhir saat AS harus melakukan Pilpres 2016. Dua kandidat dari dua partai yang berhadapan adalah Hillary Clinton dari partai Demokrat dengan Donald Trump dari partai Republik. Baik tim sukses, kandidat dan pendukung menggunakan media sosial sebagai sarana utama mereka merebut simpati pemilih dalm Pilpres.

Hal itu sampai menyeret pihak seperti Russia yang diduga mempengaruhi warga AS melalui satu teknologi di media sosial untuk memilih kandidat tertentu. Kejadian itu sempat menimbulkan kontroversi dan bisa disebut skandal  dalam Pilpres AS 2019. Warga AS juga mengalami keterbelahan karena fanatisme mereka pada kandidat mereka.

Setelah Trump terpilih, media sosial masih menjadi acuan awal untuk mendapat informasi dari gedung putih, karena Presiden Trump kala itu sangat sering mengemukakan opini politiknya melalui twitter. Apakah itu sikapnya terhadap ketua DPR AS yaitu Pellosi atau pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Dengan situasi seperti itu, masyarakat AS yang notabene adalah masyarakat dengan pendidikan yang relatif baik, mengikuti pemimpinan negaranya yang gaduh berperang opini di medsos.

Hal ini berlanjut saat mereka melakukan Pilpres 2020 tempo hari. Pada Pilpres itu, presiden Trump ternyata gagal meyakinkan rakyatnya untuk memilihnya kembali sebagai presiden AS dan Bidenlah yang terpilih. Mungkin temperamennya yang meledak-ledak dan mengeluarkan opini melalui medsos tanpa memikirkan dampaknya, sangat mengganggu masyarakat AS. 

Bahkan saat rakyat AS banyak yang terkena Covid-19 pun Trump masih saja berperang opini dengan China bahkan menentang dan keluar dari WHO. Banyak sekali tindakan Trump yang kurang mencerminkan seorang pemimpin dari negara besar dan maju seperti AS. Bahkan mantan presiden Obama mengemukakan bahwa 'pekerjaan seorang Presiden adalah sebuah pekerjaan serius dan Trump tampaknya tidak cocok untuk itu'.

Padahal secara politik, partai Republik dan Trump memiliki program-program ekonomi unggulan diantaranya sangat memperhatikan usaha kecil dan mendorong mereka untuk menjadi pemain ekonomi lebih besar lagi. Partai Republik juga relatif lebih konvensional dibanding partai Demokrat soal agama dan LGBT yang banyak ditentang itu. Dari gambaran ini kita bisa menyimpulkan bahwa seorang pemimpin harus sadar dengan apa yang diembannya dan dampaknya pada para pengikutnya.

Di Indonesia, gambaran ini mirip Habib Rizieq Shihab (HRS) dan pengikutnya yang begitu gaduh untuk menabrak banyak aturan di Indonesia. Kegaduhan di medsos ini berlanjut di alam nyata dimana para pengikutnya juga bentrok dengan aparat dan HRS sendiri melanggar ketentuan protocol Covid-19.

Karena itu mari kita sama-sama belajar dan memikirkan bagaimana media sosial itu bekerja dan berdampak bagi masyakat luas. Sehingga para tokoh dan pemimpin juga harus menahan diri untuk mengeluarkan komentar dan respon yang tidak membuat kegaduhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun