Taksonomi Bloom adalah teori belajar yang digunakan untuk mengklasifikasikan tujuan pembelajaran ke dalam beberapa tingkatan yaitu dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Pembelajaran dengan model Taksonomi Bloom ini berfokus pada tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.Â
Pada ranah kognitif, siswa akan melakukan kegiatan belajar yang bertujuan untuk mencapai satu tingkat intelektual yang diharapkan.Â
Pada ranah afektif, pembelajaran berfokus pada cara siswa menangani segala hal yang berkaitan dengan emosi, seperti perasaan, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap. Sedangkan ranah psikomotorik berfokus pada gerakan fisik, koordinasi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterampilan motorik.Â
Teori pembelajaran ini sebenarnya sudah sangat familiar di sistem pendidikan Indonesia. Bagi pendidik, teori ini mungkin sudah tidak asing lagi karena pada beberapa kompetensi kurikulum, teori ini sudah digunakan baik di sekolah swasta atau negeri.
Taksonomi Bloom Revisi merupakan salah satu teori yang sangat baik untuk diaplikasikan dalam mencapai tujuan belajar yang kompleks. Namun yang menjadi kelemahan dari teori tersebut adalah tujuan belajar dengan tingkat kompleksitas yang rendah kurang menjadi perhatian. Bahkan teori ini cenderung mengabaikan proses yang terjadi pada saat pembelajaran.
Namun bagaimana jika teori belajar ini diaplikasikan oleh Guru itu sendiri untuk mengevaluasi dirinya?
Apakah Taksonomi Bloom mampu meningkatkan kualitas Guru?
Pada ranah Kognitif, guru akan melakukan tahapan dari Pengetahuan, Pemahaman, Penerapan, Analisis, Sintesis, dan Evaluasi. Semua tahapan tersebut, seharusnya telah dimiliki dan terus dilakukan secara berulang dalam proses mengajar siswa. Seorang guru seharunya adalah sosok yang terus melajar dan mengasah kemampuannya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Lalu di ranah afektif, seorang guru diharapkan untuk memiliki kemampuan dalam mengelola perasaan dan emosi mereka. Karakter siswa yang beragam, menuntut guru untuk dapat memiliki perasaan dan emosi yang stabil. Meskipun memiliki masalah pribadi diluar pekerjaan, seorang guru harus mampu mengesampingkannya terlebih dahulu dan mementingkan kebutuhan siswa.
Dan yang terakhir pada ranah psikomotorik, Guru perlu memiliki perilaku yang baik sehingga mampu mengajar siswa dengan maksimal.
Apakah teori ini juga dapat bermanfaat saat diaplikasikan pada guru-guru dalam proses pengajaran?