Langkahku masih lunglai. Tenaga sudah perlahan ditelan oleh malam-malam yang begitu geram. kini, duduk seorang diri. Di tengah-tengah koridor yang begitu temaram.
"Mbak, maaf. Bapak belum ada perubahan. Masih sama." Kata perawat yang masih mengurus ayahku.
Hampir seminggu ia koma. Dan aku begitu lesu, melihatnya dari jauh yang tak berdaya itu. Ayahku, laki-laki gesit, penuh gairah. Menebar keceriaan kepada semua orang. Bahkan ringan tangan. Entah kenapa, kali ini semua seolah menjadi kenangan di benakku.
Air mataku menetes deras. Seketika aku membenci semuanya. Aku ingin sendirian. Bahkan aku membenci Tuhan!. Ia yang Maha Dasyat menyembuhkan, kali ini aku memohon ratusan kali, tak juga Ia kabulkan.
"Nduk, kamu pulang dan istirahatlah. Ibu yang jaga Bapakmu di sini." Kata ibuku sambil mengusap punggungku. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Ia paham diriku yang sedang runtuh hati.
Aku melihat ibu dan perawat berbincang cukup lama dan serius. Aku sengaja tidak mau mendekat. Namun aku mendengar!. Rupanya ayahku dalam kondisi memburuk.
*
Aku gas sepeda motorku malam itu. Yang pasti aku tidak mau pulang. Ingin berteriak, namun aku tak mampu lagi. Aku pinggirkan motorku di jalanan lurus yang penuh pepohonan. Kusandarkan wajahku di speedometer. Hingga waktu yang tak bisa kuhitung.
Bayang-bayang putih melintas di antara pepohonan tinggi. Jatuh tepat di atasku. Seketika aku menjadi segar.
Ah ... rupanya aku tertidur sebentar. Kulihat jam, sudah menunjukkan pukul 02.00. Kuarahkan motor ke warung angkringan Pak Dah. Langgananku dan ayah. Barangkali wedang jahe bisa menjadi penyembuh sesaat.
*
Kuulangi lagi mengingat-ingat mimpi yang secepat kilat itu. Kuanggap mimpi orang capek yang berhari-hari melek, ditambah hati yang perlahan runtuh. Ah..., cuma mimpi!.
Tapi, kenapa habis mimpi itu aku merasa ringan dan berenergi? Apa karena tubuh rileks diperbolehkan tidur sekian menit? Ah, masa sih....
Tak hanya itu, lebih-lebih jiwaku. Aku merasa lega, ikhlas dan damai. Kekuatan apa ini yang hanya sekian menit, mampu menyembuhkan luka-luka?