Mohon tunggu...
Putri Dewi
Putri Dewi Mohon Tunggu... Seniman - Pengajar, Penari dan penulis puisi

Menulis adalah jiwa yang berkembang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pesan Samudera Jiwa

23 Juni 2020   22:39 Diperbarui: 24 Juni 2020   10:13 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar:www.bing.com

Senja membingkai semburat kemerahan pada angkasa. Beberapa awan kelabu spontan tersisih oleh karena angin. Aku menengadah, menikmatinya sambil minum teh melati panas kesukaanku.

"Udah siap kamu, Nduk?." Tanya Bapak.

Aku dan Bapak berencana pergi ke pantai sore hari. Selain ingin menikmati matahari senja pada kemarau ini, juga rasa jenuh yang melanda beberapa bulan, karena fokus pada pekerjaan. Minggu adalah waktu terbaik untuk melepaskan semua sementara waktu. Mengembalikan kesegaran jiwa dan raga.

Perjalanan yang menghiasi hati. Kanan dan kiri nampak lambaian dedaunan besar menari-nari oleh irama angin. Aku tersenyum oleh waktu yang diijinkan kembali menikmati angin pantai yang syahdu, diiringi lagu nostalgia milik Bapak.

Kami berhenti sejenak di sebuah supermarket. Terlihat Bapak membeli beberapa snack.

"Kamu mau air mineral yang mana?." Tanyanya.
Aku ambil satu air mineral yang memang kesukaanku. Dan ia pun menyusul mengambil air mineral juga, dengan kemasan dan merk yang berbeda.

Suara debur ombak bersahut-sahutan di tengah samudera. Rupanya kami datang dalam keadaan sudah tak lagi ada gelombang pasang. Sehingga kami cukup tenang berdiri lebih dekat.

Nampak mentari berwarna jingga kemerahan, menyambut kami dengan hangat. Tak menyilaukan mata, bahkan sempat kami ambil beberapa foto darinya. Air semakin tenang, suara air gemericik mendekati kami perlahan.

"Nih, air mineralmu. Tapi jangan dihabiskan, ya." Kata Bapak. Sedikit heran dengan perintahnya ini.
Kemudian kami duduk bersila di atas pasir putih kecoklatan. Melepaskan beban di dalam diri sambil menghirup udara yang tersaji senja itu.

"Nduk, coba. Rasakan angin yang terkena di badanmu. Dengar suara gemericik air. Dan nggak usah pikir apapun." Perintahnya lagi. Kini kulakukan bersama-sama dengan dia. Rasa "adem" di dalam dada mendadak datang dengan sendirinya.

Senja semakin larut. Mentari mulai sirna perlahan. Namun meninggalkan beberapa cahaya.
"Di pantai itu nggak perlu lama-lama. Tapi berkualitas. He...he..he.." Kata Bapak sambil menggeliat kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun