Sudah beberapa tahun terakhir saya wajib lapor SPT karena sudah menerima bukti potong pajak (PPh 21) dari kantor tempat saya bekerja.
Sebelum bisa mengakses akun di djponline.pajak.go.id memang tahapan pembuatan akunnya menurut saya lumayan ribet. Apalagi harus menunggu hingga memiliki E-FIN.
Setelah semua administrasi lengkap, akhirnya bisa mengakses situs tersebut dan melakukan pelaporan SPT secara mandiri dengan bahan bukti potong pajak dari kantor. Sebenarnya di web sudah disediakan tutorial Cara Isi SPT sehingga memudahkan pengaksesnya.
Saya adalah seorang anak sulung dari dua bersaudara. Ibu saya sudah tidak bekerja semenjak diberhentikan gara-gara Covid. Adik saya masih kuliah.
Berdasarkan peraturan, seharusnya saya tergolong ke dalam wajib pajak TK/2 artinya tidak kawin dengan 2 orang tanggungan.
Hal tersebut karena biaya hidup ibu dan adik, saya yang menanggung seluruhnya. Namun, pihak kantor menyebutkan bahwa saya tidak bisa menganggap ibu dan adik sebagai tanggungan karena bukan hasil dari pernikahan saya.
Jadi, data dari kantor saya hanya menuliskan saya sebagai wajib pajak  TK/0 artinya tidak kawin dan tidak memiliki tanggungan.
Alhasil pajak yang harus saya bayar sangat tinggi karena dianggap tidak memiliki tanggungan.
Pada saat lapor SPT, saya mencantumkan diri sebagai wajib pajak TK/2 dengan melampirkan kartu keluarga sebagai bukti bahwa saya memiliki tanggungan.
Beberapa hari setelah itu, salah satu pihak kantor pajak setempat menelepon saya dan mengatakan bahwa saya harus mengubah pelaporan saya sesuai dengan bukti potong pajak.
Saat ditelepon saya bertanya kepada petugas, "jadi yang dilaporkan itu harus sesuai bukti potong atau harus sesuai keadaan yang sebenarnya?"
Petugas menjawab, "Harus sesuai dengan bukti potong yang diterima dari kantor."
Saya memberikan penjelasan bahwa di kantor saya tercatat sebagai TK/0, tetapi sebenarnya saya adalah wajib pajak TK/2. Namun, pihak pajak yang menelepon saya justru menjawab saya dengan nada seperti mengancam.Â
"Nanti ibu diperiksa loh sama pihak pajak, nanti ibu malah harus bayar pajak lebih banyak," ucapnya dengan nada tinggi.
Saya yang tidak mau melayani pembicaraan tersebut hanya bilang "Ok ok" saja.
Saat itu saya merekam pembicaraan dengan pihak kantor pajak tersebut, tetapi sayangnya file tidak bisa merekam suara.
Saat itu saya bingung, mengapa ada opsi "direstitusikan" atau dikembalikan dari web pajak jika seluruh pelaporan harus disesuaikan dengan bukti potong.
Akhirnya, saya menanyakan via email informasi@pajak.go.id dan menyebutkan bahwa saya bisa mengubah status dari TK/0 menjadi TK/2 dengan beberapa tahapan.
Di tahun-tahun sebelumnya pernah ada kejadian saya berstatus "lebih bayar" karena saya membayar zakat profesi.
Akan tetapi, pihak kantor pajak yang menghubungi saya terdengar seperti "mempersulit" saya untuk mendapatkan kembalian dari uang pajak yang saya bayarkan.
Akhirnya saya terpaksa melakukan pembentulan dan mengisi SPT sesuai bukti potong yang saya terima dari kantor. Begitu pula dengan tahun-tahun berikutnya.
Namun, untuk pelaporan tahun 2022 saya berusaha untuk memperjuangkan hak saya mendapatkan pengembalian dana dari pembayaran pajak yang berlebih. Terlebih saya saat ini sedang dalam posisi tidak bekerja (baru kena PHK).
Dan lagi-lagi sepertinya saya harus melakukan pembetulan agar isi SPT sesuai dengan bukti potong pajak karena sulitnya birokrasi perubahan status wajib pajak dari TK/0 ke TK/2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H