Setiap organisasi mempunyai cara masing-masing dalam memandang pajak. Ada yang menganggapnya hanya kewajiban rutin, ada yang memanggapnya sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Di sinilah “episteme” atau tingkat kesadaran organisasi memainkan peran penting.
Episteme dan Tingkat Kesadaran Organisasi: Kata "episteme" berasal dari filsafat Yunani kuno (dari pemikiran Plato dan Aristotle), yang merujuk pada pengetahuan yang bersifat teoritis, sistematis, dan obyektif, bukan hanya pengetahuan praktis (seperti "techne"). Dalam konteks organisasi, episteme dapat diartikan sebagai pemahaman mendalam tentang struktur, budaya, dan nilai-nilai sebuah organisasi. "Tingkat kesadaran organisasi" mengacu pada seberapa sadar anggota organisasi terhadap norma, etika, dan dampak perilaku mereka. Judul ini mengeksplorasi bagaimana pengetahuan ini memengaruhi perilaku, misalnya, bagaimana kesadaran etis dalam organisasi dapat memengaruhi keputusan karyawan, seperti dalam manajemen risiko atau kepatuhan hukum.
Memengaruhi Perilaku: Bagian ini membahas hubungan kausal antara episteme dan perilaku. Secara psikologis, ini bisa terkait dengan teori-teori seperti model kesadaran organisasi dari Peter Senge (dalam "The Fifth Discipline"), di mana kesadaran membantu menciptakan perilaku kolaboratif dan inovatif. Dalam konteks bisnis, perilaku yang dipengaruhi oleh episteme bisa mencakup bagaimana karyawan menangani isu etis, seperti menghindari penghindaran pajak ilegal.
Strategi Pengelolaan PPh Pasal 23: PPh Pasal 23 adalah bagian dari Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) di Indonesia, yang mengatur pemotongan pajak atas pembayaran tertentu, seperti dividen, bunga, royalti, sewa, dan hadiah. Pasal ini bertujuan untuk memastikan pajak dipotong di sumbernya, terutama untuk transaksi dengan pihak luar negeri atau non-wajib pajak domestik. Strategi pengelolaan melibatkan perencanaan pajak (tax planning) untuk meminimalkan beban pajak secara legal, seperti memanfaatkan pengecualian atau kredit pajak.
1. Konsep Dasar PPh Pasal 23
Definisi dan Cakupan:
PPh Pasal 23 adalah salah satu bentuk pajak penghasilan yang dikenakan di Indonesia, di mana pajak dipotong langsung di sumber pembayaran. Ini berlaku untuk penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WP DN), seperti individu atau badan usaha yang berdomisili di Indonesia, serta Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang merujuk pada operasi bisnis asing yang dianggap sebagai entitas tetap di Indonesia. Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 biasanya berasal dari modal (seperti dividen atau bunga), jasa (seperti royalti atau sewa), atau hadiah, asalkan penghasilan tersebut belum dipotong pajak di bawah Pasal 21 (yang lebih fokus pada gaji dan honorarium).Tujuan:
Tujuan utama PPh Pasal 23 adalah untuk memastikan kepatuhan pajak dengan memotong pajak sejak awal transaksi, sehingga pemerintah bisa memperoleh pendapatan lebih cepat dan mengurangi risiko penggelapan pajak. Ini juga membantu dalam menjaga keadilan pajak, terutama untuk transaksi dengan pihak luar negeri atau non-wajib pajak.Perbedaan dengan Pasal Lain:
PPh Pasal 23 berbeda dari PPh Pasal 21 karena Pasal 21 lebih ditujukan untuk penghasilan rutin seperti gaji karyawan, sedangkan Pasal 23 menargetkan penghasilan pasif atau tidak rutin, seperti pembayaran atas aset atau layanan. Jika penghasilan sudah dipotong di bawah Pasal 21, maka tidak lagi dikenakan Pasal 23 untuk menghindari double taxation (pajak ganda).Contoh Aplikasi:
Misalnya, jika sebuah perusahaan Indonesia membayar dividen kepada pemegang saham asing, perusahaan tersebut wajib memotong PPh Pasal 23 sebelum pembayaran. Ini memastikan bahwa pajak langsung dikirim ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia.Ketentuan Umum:
Berdasarkan aturan pajak Indonesia (seperti yang diatur dalam UU PPh No. 7 Tahun 1983 dan perubahannya), pemotong pajak (seperti perusahaan) harus melaporkan dan menyetor pajak yang dipotong setiap bulan. Jika tidak dipatuhi, bisa ada sanksi seperti denda atau pemeriksaan pajak.