Mohon tunggu...
Dewi
Dewi Mohon Tunggu... Pneyunting Naskah -

Penikmat kopi dan rindu. Sesekali menyeka hujan pada kesenduan. Penyunting naskah freelance. CV Pupa Media IG: @_dewipuspitasarii_ Wattpad: @dewi_ps

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Episode yang Tak Pernah Usai

22 Desember 2013   21:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No. : 403 Jinga Kirana

Episode yang Tak Pernah Usai

Mungkin Ibu sedikit aneh menerima surat kecil dariku ini, karena hampir 17 tahun kita tidak pernah lagi berkirim surat seperti dulu. Tapi, kali ini aku mencoba untuk menuliskan kembali apa yang pernah kita lalui bersama Bu. Bukan berarti tak ada seorang lagi dalam kehidupan kita, tapi aku ingin sejenak memosisikan ayah sebagai pendengar cerita kita di sini. Aku ingin memutar ulang semua memori yang ada di kepala kita, aku ingin membuka lembar-lembar episode yang lalu bersama Ibu. Walaupun aku tahu, lembar episode itu tidak akan pernah ada habisnya. Tidak seperti novel, cerita roman, atau dongeng-dongeng seperti yang selalu ibu bacakan sebagai pengantar tidurku.

Ibu…

Kita pernah berada dalam satu ruang berdinding merah hati, ada dua hati yang tinggal dalam satu ruang, ada dua denyut nadi dalam satu darah, ada dua degup jantung dalam satu badan. Ada darahmu mengalir dalam jiwaku. Kita pernah hidup bersama dalam satu masa, sembilan bulan sepuluh hari. Kita bergerak bersama, bernapas bersama, dan merasa bersama. Tapi, saat itu aku masih rapuh. Aku hanya bisa bersembunyi di balik dinding yang berwarna merah hati itu, kita tidak berjarak. Hanya ada selaput tipis yang membatasi dunia kita, tapi sungguh sangat berkuasa.

Ketika itu, aku sudah mulai bisa merasakan kasih sayang seorang wanita yang sangat mulia. Seorang wanita yang aku pilih sendiri ketika aku sedang bernegoisasi dengan Tuhan. Aku berusaha meyakinkan Tuhan, bahwa wanita itu lah yang kelak mampu menjadi penuntunku di dunia. Wanita yang aku pilihpun tidak pernah menolak kehadiranku dalam tubuhnya. Aku semakin tidak sabar ingin segera mengenal sosok wanita yang mau menampungku selama Sembilan bulan sepuluh hari dalam rahimnya.

Bulan mulai berganti, tinggal hitungan hari atau bahkan hitungan jam aku bisa melihat dunia dan mengenal wanita itu. Tepat di hari ke dua puluh lima bulan lima, dua puluh tahun yang lalu aku menyelesaikan satu masa dalam perjalananku. Satu pemandangan yang sangat mengagumkan ketika aku berhasil keluar dari dalam persembunyianku. Bukan dunia yang penuh warna ini yang menakjubkan. Tapi, wajah ayu nan penuh kasih sayang menyambut kehadiranku dengan senyum bahagia. Ada setetes air mengalir dari kedua ujung matanya, entah apa namanya, yang pasti aku bahagia karena aku adalah pemenang.

Musim mulai berganti. Akupun akhirnya mengenal wanita yang sudah meminjamkan rahimnya untuk aku tempati. Ada seorang wanita lagi yang waktu itu berkata kepadaku :

“Ayo nduk, nyusu dulu sama Ibu ya?” sambil menyerahkan aku ke pangkuan wanita yang melahirkanku.

Lalu aku bergumam dalam hati, “IBU”, ya aku akan memanggil wanita itu dengan sebutan IBU.

Ibu, yang telah memberiku tempat ternyaman dalam tubuhnya. Ibu yang sudah mengantarkanku untuk melihat dunia ini. Ibu yang kelak akan menuntun dan membimbingku. Ibu.. Ibu wanita yang jasanya tidak pernah bisa disebutkan satu per satu.

***

Malam itu, hujan turun begitu lebatnya. Suara petir bergemuruh di langit bergantian. Aku masih tertidur pulas di samping, tapi tiba-tiba tubuhku tersentak. Aku terkejut ketika badai dan petir datang bersamaan. Aku menagis sejadi-jadinya, apa yang bisa aku lakukan? Aku baru bisa menangis, menangis, dan menangis. Mendengar tangisku yang semakin menjadi ibu terbangun dan dengan segera mengdekapku dalam pelukan hanyatnya, lalu meletakkanku dipangkuannya setelah aku tenang dan memberiku air susu dari ibu sendiri. Aku merasa sangat nyaman dan sangat tenang. Ibu memang baik. Ibu selalu berusaha melindungi aku dari apapun.

Aku tahu, ibu sangat menyayangiku bahkan tidak ingin melihatku sedikitpun terluka. Seperti saat aku sudah berusia 7 tahun. Aku sedang membantu ibu memasak di dapur, ya inginku seperti itu, tapi keadaannya aku hanya bisa mengganggu ibu, bukan membantu. Aku berniat untuk membantu ibu mengiris wortel tapi tiba-tiba pisau yang aku pegang meleset dan mengenai ujung jariku. Aku berteriak kesakitan, walaupun luka itu sangat kecil tapi aku takut dan baru kali itu aku melihat darah keluar dari tanganku. Ibu dengan sigap meraih jariku yang terkena pisau dan menghisap darahnya dengan mulut Ibu, lalu ibu segera membersihkan luka itu dan meberikannya obat.

Bu, ini hanya luka kecil. Tapi ibu sampai sepanik itu. Ibu memang benar-benar tidak ingin melihatku terluka sedikitpun. Terima kasih Ibu sudah mengkhawatirkan aku dan selalu melindungi aku.

***

Kini aku sudah beranjak dewasa, Bu. Sudah terlalu banyak pahit manis kehidupan yang aku lalui bersama ibu. tanpa kehadiran ibu mungkin aku tidak akan mampu melihat dunia dengan tegap, mungkin aku tidak akan mampu setangguh ibu menghadapi euphoria di dunia ini. Aku belajar ketulusan dari ibu, aku mengerti arti sebuah pengorbanan dan perjuangan melalui ibu.

Tapi, seiring berjalannya waktu, semakin aku bertambah dewasa semakin sering aku dan ibu tidak sepaham lagi. Terkadang aku mulai merasa tidak nyaman dengan ibu yang suka mengatur, bahkan kadang aku marah karena ibu masih memperlakukan aku seperti aku 10 tahun yang lalu.

Aku sudah mulai merasa dewasa dan mampu melakukan apapun sendiri. Aku sudah bisa menentukan jalan hidupku sendiri, aku sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang harus aku hindari. Mungkin memang hal biasa, ketika seorang anak berbeda pendapat dengan sang ibu.

Tapi aku mulai suka membantah kepada ibu, aku sering mengabaikan perintah ibu sebagai bentuk kekesalanku terhadap ibu. Aku sering mematikan telepon dari ibu dengan alasan aku sedang meeting atau sedang sibuk. Aku sering lupa membalas pesan singkat dari ibu, hanya sekedar untuk menanyakan kabar ibu atau memberi kabar kepada ibu tentang keadaanku.

Namun apa yang aku dapati, semarah dan sekesal apapun aku kepada ibu, ibu selalu dengan sabar dan rendah hati menghadapiku. Ibu tidak pernah membalas kemarahanku dengan kemarahannya, ibu tidak pernah mengeluh atas apa yang aku keluhkan kepada ibu, ibu tidak pernah bosan mendengar teriakan-teriakanku. Bahkan ibu selalu ada ketika aku menangis dan bersedih. Ibu selalu mampu mengorbankan segalanya hanya demi aku. Ibu selalu menyisihkan makanan untukku ketika aku pulang terlambat. Selalu ada yang menyambut hangat kepulanganku ke rumah. Selalu ada cara untuk ibu meluluhkan hatiku. Selalu ada segelas air minum, makanan kesukaan, dan air hangat untuk mandi ketika aku pulang berpergian. Meskipun aku tahu, seharian ini ibu sudah lelah bekerja. Tapi selalu ada waktu untukku dan semua kebutuhanku. Dan aku rindu semua itu…

Aku mulai meratapi kesalahanku. Ternyata aku sudah melupakan perjanjian yang pernah kita buat dulu. Aku melupakan janjiku pada Tuhan untuk selalu menjaga hati wanita yang telah memberikan separuh hidupnya untukku. Aku lupa, aku sudah berjanji untuk selalu bersama-sama dalam hal apapun. Aku melupakan perjalanan panjang yang pernah kita lalui berdua, proses yang tidak mudah. Akupun lupa terakhir kali aku mengucapkan sayang kepada ibu, bahkan kemarin saat ibu ulang tahunpun aku hampir lupa karena kesibukanku.

Aku bersandar pada dinding di sudut ruangan itu. Dingin, ketika punggungku bersentuhan dengan dinding itu. Sedingin hati ini mengingat semua kisah tentang aku dan ibu. Aku rindu belaian hangat tangan ibu. Aku rindu kecupan mesra yang mendarat ringan dikeningku ketika aku tertidur. Aku rindu pelukan ibu yang selalu melindungiku. Aku rindu senyum manis ibu yang menjadi pemandangan pertama ketika aku baru bangun tidur. Aku rindu sarapan satu meja dengan ibu. Aku rindu ibu yang sampai saat ini masih menghkawatirkan aku. Ini bukan gombal atau sebatas kata-kata manja belaka, ini ungkapan yang tak pernah bisa terucap untukmu Ibu..

***

Betapa menderitanya aku jika tanpa ibu, betapa bodohnya aku yang sempat melupakan perjanjian kita, betapa hinanya aku yang mengabaikan ibu.

Kini, terlihat jelas diwajahmu ibu. Guratan bukti pengorbananmu. Tapi, tak sedikitpun ibu berkeluh kesah, meski aku tahu ibu sangat lelah. Dirimu tak pernah merasa terbebani, hanya senyum sayu dibibirmu yang berbicara pada hatiku. Satu langkah kaki kecilku menghampirimu, seribu langkah kau datang padaku. Dalam setiap langkahmu dan ucapanmu, selalu kau sempatkan selipkan doa untukku. Sejak kudapat melihat dunia, hingga sang surya merayap keperaduannya. Kau selalu setia, kau selalu bahagia menemaniku hingga kuberanjak dewasa.

Dan kini aku tahu Bu, aku hanya ingin menjadi wanita seperti ibu. Tidak perlu menjadi dokter untuk bisa merawat anak-anakku kelak, tidak perlu menjadi seorang guru untuk mampu membimbing cucu-cucumu ibu. Cukup menjadi wanita sejati dan bijaksana, sepertimu…

Akupun tahu, sedewasa apapun seorang anak, ibu akan selalu menganggapnya sebagai putri kecilnya yang masih perlu dikhawatirkan..

Aku akan pulang Bu, aku ingin pulang.. Aku rindu pelukan ibu… Aku ingin menjadi putri kecil ibu seperti dulu..

Terima kasih untuk perjalanan ini Bu. Untuk proses yang tak mudah dari satu episode menuju episode yang lain. Masih banyak lembar episode yang akan kita lalui bersama, meski tak mudah.. Tapi proses yang tak mudah ini selalu indah jika bersama Ibu…

Ibu, rembulan dan pelangiku kini aku persembahkan hanya untukmu…

Aku sayang Ibu…

Ttd,

Putri kecilmu

NB :

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu (https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun