Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Lik Galak Gampil: Tradisi Berburu Angpau yang Mulai Surut

28 Juli 2015   14:39 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:50 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Berburu Galak Gampil"][/caption]

“Lik galak gampil” ujar rombongan anak-anak yang kami tidak kami kenal dari teras. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan menyalami kami satu-persatu. Setelah duduk, kami persilakan mereka mengambil kue-kue yang mereka sambut malu-malu. Setelah kami beri amplop angpau, mereka pun langsung bersalaman mohon diri. “Matur nuwun Lik”.

Pemandangan seperti di atas lazim kami jumpai saat perayaan Idul Fitri. Serombongan anak-anak berburu angpau alias galak gampil. Anak-anak tersebut bukan hanya dari kampung sendiri, melainkan juga dari kampung-kampung sebelah. Bahkan ada juga yang rela berkeliling dari kampung yang berjarak lebih dari sekilo. Tidak apa-apa berjalan jauh demi angpau. Kapan lagi dapat angpau dari para tetangga meskipun berbeda kampung, selain saat lebaran.

Rombongan galak gampil ini berbekal kepercayaan diri. Dalam benak mereka, lebaran berarti silaturahmi dan berbagi rejeki. Paling apes jika tidak diberi angpau, ya dapat mencicipi kue-kue lebaran tuan rumah. Tuan rumah biasanya hanya berbasa-basi menanyakan asal kampung mereka dan biasanya langsung tanggap dengan segera membagikan angpau.

Galak gampil ini memang salah satu tradisi perayaan lebaran. Entah siapa yang menciptakan istilah ini. Galak gampil bisa berarti galak dan mudah. Mungkin maksudnya, pada lebaran mereka-mereka bakal lebih dermawan untuk berbagi angpau.

Sejak kecil saya juga terbiasa dengan tradisi ini. Kami harap-harap cemas berapa besaran yang kami dapat dari galak gampil. Ada bibi yang royal yang memberi Rp 10 ribu tiap anak, nominal yang sangat besar untuk masa itu. Ada juga paman yang hanya membagikan seribu perak. Kalau tetangga, besarannya antara seratus hingga seribu perak. Lumayan sih uang yang terkumpul jika rajin galak gampil berkeliling tiap rumah.

Untuk galak gampil ke tetangga saya termasuk yang pemalu. Pernah sekali diajak kakak dan tetangga untuk berkeliling galak gampil. Di satu rumah kami menunggu cukup lama untuk mendapat angpau. Sudah berapa kue yang saya makan, tuan rumahnya belum juga memberi angpau. Saya sudah gelisah. Kakak dan pemimpin rombongan galak gampil meminta saya bersabar. Saya melihat pemimpin rombongan dan lainnya memasukkan permen ke dalam saku sambil tetap duduk manis. Akhirnya yang ditunggu pun tiba. Tuan rumah membagikan duaratus perak ke tiap anak. Kami pun bergegas pulang.

Uang duaratus perak itu saya belikan es tung-tung ( es krim dari santan) yang mangkal depan rumah. Kakak masih mengikuti rombongan galak gampil. Setelah ke para tetangga, tujuan mereka ke kampung sebelah. Saya menolak ikut. Saya merasa malu. Senang sih mendapat angpau, tapi saya merasa malu. Ketika kakak pulang beberapa jam kemudian, ia menunjukkan hasil galak gampilnya yang banyak.

Tradisi galak gampil ini masih eksis di Malang. Kami menyiapkan uang baru dalam amplop-amplop untuk dibagikan ke keponakan dan tetangga. Tapi sejak dua tahun ini tidak ada lagi rombongan anak-anak pemburu galak gampil dari kampung-kampung tetangga. Anak-anak tetangga pun jarang nampak kecuali diajak orang tua mereka. Apakah mereka sudah lupa asyiknya berburu galak gampil ke tiap kampung?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun