Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

The First Omen, Penceritaan Agak Tertatih-tatih tapi Tertutupi oleh Visual yang Apik

9 April 2024   15:30 Diperbarui: 11 April 2024   12:00 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari segi cerita, The First Omen bukan sebuah film horor yang luar biasa. Film yang merupakan debut Arkasha Stevenson sebagai sutradara serta naskahnya ditulis Stevenson bersama Tim Smith dan Keith Thomas ini memiliki beberapa kekurangan, meski lumayan tertutupi oleh visual dan skoringnya yang memikat.

Elemen ceritanya sebenarnya tidak ada yang baru. Selintas mengingatkan pada The Nun II (2023) karena tokohnya sama-sama biarawati. Namun yang membuat The First Omen menarik karena ceritanya memang memiliki kaitan dengan The Omen (1976). Alhasil bagi penggemar franchise The Omen, maka film ini sayang dilewatkan.

Ada banyak elemen yang menjadi benang merah kedua film (sumber gambar: 20th Century Studios via IMDb) 
Ada banyak elemen yang menjadi benang merah kedua film (sumber gambar: 20th Century Studios via IMDb) 
Stevenson dan kawan-kawan jeli dan hati-hati dalam menjahit cerita sehingga ada keterkaitan yang erat antara kedua film ini. Keterkaitan ini dapat dilihat dari tokoh yang ada dalam kedua film, elemen-elemen kejutan, referensi horor, dan juga musik ikoniknya. Stevenson juga tidak pelit memberikan petunjuk tersebar yang mengarah ke plot twist.

Meski demikian, penceritaan dalam film ini agak tertatih-tatih. Pergantian adegan di beberapa bagian terasa kurang mulus. Dari divisi akting, Nell Tiger Free berhasil menampilkan sosok Margareth yang naif. Selain Neil Tiger Free, Bill Nighy, dan Snia Braga sebagai Kardinal dan pimpinan panti asuhan memberikan performa yang menyakinkan.

Keterbatasan dalam penceritaan cukup tertutupi oleh visualnya yang sinematik. Latar Italia tahun 70an tergarap dengan apik dari bangunan, jenis kendaraan, dan kostum. Warna-warna dalam film dan sudut pengambilan gambar membuat film berasa seperti film noir.

Latar tempatnya adalah di panti asuhan di Italia tahun 70an (sumber gambar: IMDb) 
Latar tempatnya adalah di panti asuhan di Italia tahun 70an (sumber gambar: IMDb) 

Skoring dalam film yang dikomandani oleh Mark Korven ini mencekam sejak awal. Terdengar bisikan-bisikan yang seperti menggumamkan sesuatu menambah atmosfer horor. Namun bagian paling mendebarkan dan berasa nostalgia ketika musik Ave Satani berkumandang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun