Kupandangi dengan kagum arca-arca dari Kerajaan Singhasari di ruang pameran pertama. Ada beberapa arca yang kondisinya masih bagus. Mereka adalah saksi bisu peradaban nusantara.Â
Dengan dikembalikan sekitar 1.500 artefak sejarah, maka kepingan-kepingan puzzle untuk memahami peradaban bangsa di masa lalu makin bertambah. Sebagian koleksi tersebut tersaji di Galeri Nasional Indonesia pada 28 November - 10 Desember lewat Pameran Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara.
Pemeran yang menyajikan koleksi artefak yang kembali pulang ke tanah air ini banyak diminati masyarakat. Kuota pendaftaran daring ludes pada setiap tanggal dan sesi.Â
Para pengunjung berasal dari berbagai latar, baik dari para peneliti, pecinta sejarah, hingga masyarakat awam. Wisatawan mancanegara juga nampak tertarik dan ikut antri scan barcode registrasi dan menyimpan barang bawaan.
Setiap pengunjung di tiap sesi hanya diberikan waktu sekitar 55 menit. Kami hanya memotret di ruangan yang memamerkan arca dan ruang imersif. Ruangan lainnya tidak diperkenankan untuk didokumentasikan. Namun, pengunjung bisa mendapatkan informasi di katalog koleksi pameran yang bisa diunduh.
Koleksi-koleksi tersebut tak semuanya dikembalikan baru-baru ini, melainkan secara bertahap. Tentang repatriasi, Mohammad Yamin pada tahun 1951 telah menyampaikan agar artefak jarahan dikembalikan ke negara asalnya.Â
Namun, baru tahun 1972 harapan itu bisa terealisasikan. Diawali dari kepulangan keropak atau kitab daun lontar Nagarakertagama. Menyusul kemudian arca Prajnaparamita, dan sebagian koleksi Pangeran Diponegoro.
Hingga November 2023, ada sekitar 1.500 artefak bersejarah yang dikembalikan pemerintah Belanda. Yang baru tiba di tanah air adalah keris Kerajaan Klungkung yaitu pada 9 November.Â
Keris ini milik Raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang gugur ketika berperang melawan Belanda. Masih ada artefak lainnya yang belum kembali ke tanah air.
Candi Singosari atau Candi Singhasari terletak di Kabupaten Singosari, Malang. Candi ini beberapa kali kukunjungi karena lokasinya tidak begitu jauh dari rumah. Kompleks candi peninggalan Kerajaan Singhasari ini lumayan terawat, dengan taman dan deretan arca yang sudah tak utuh di salah satu sisi halamannya.
Ketika menyaksikan arca-arca yang seharusnya menempati empat bilik candi, aku jadi membayangkan betapa megah dan detailnya Candi Singhasari. Cerita tentang Siwa dan Parwatinya jadi lengkap. Kenanganku tentang Candi Singhasari jadi berubah.
Berikutnya adalah arca Dewa Siwa sebagai Nandiswara. Kedua lengannya tak utuh sejak ditemukan. Namun detailnya masih nampak jelas, termasuk motif kain yang digunakan.
Arca Durga Mahisa memiliki cerita yang menarik. Durga istri Siwa digambarkan berhasil mengalahkan Mahisa, raksasa berwujud seekor lembu. Ia memiliki delapan tangan memegang senjata yang saat ditemukan beberapa di antaranya sudah tidak utuh. Di sebelahnya ada ashura.
Lalu ada perwujudan Siwa lainnya dalam sosok Mahakala. Sosoknya nampak mengerikan. Arca ini nampaknya sebagian besar masih utuh dan detailnya masih terlihat jelas.
Ornamennya juga kaya akan tengkorak. Ia rupanya juga mengemban misi khusus dari Durga untuk menaklukkan musuh para dewa sehingga posisi arcanya meski duduk tetap sigap.
Setelah puas menyaksikan dan berkhayal tentang posisi para arca di Candi Singhasari, aku memasuki ruangan berikutnya yaitu ruang imersif. Di sini ada cerita rangkaian sejarah panjang proses pengembalian artefak ke tanah air lewat visual yang menarik.
Koleksi keris Klungkung membuatku takjub. Keris ini nampak indah dan mewah, dengan sentuhan emas dan hiasan baru mulia. Keris ini baru tiba bulan November, sehari sebelum disematkannya gelar pahlawan nasional ke Raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe.
Ketika membaca detail cerita perjuangan rakyat dan Raja Klungkung di katalog, aku begitu sedih. Korban jiwa begitu banyak di pihak Klungkung, lebih dari seribu jiwa. Raja Klungkung bertempur hingga titik darah penghabisan. Rupanya aku tak banyak tahu tentang peristiwa ini yang berkaitan dengan perdagangan candu di Bali.
Nah untuk panel sendiri ini seperti hiasan dinding dengan gambar hewan-hewan mitologi yang terpengaruh dari kebudayaan Tiongkok. Warna panelnya masih tajam, yaitu dominan merah dan emas.
Sementara koleksi Museum Nusantara menampilkan artefak bersejarah lainnya yang juga dikembalikan ke tanah air, seperti aneka keris, benda-benda upacara, perhiasan, kain tenun, dan lainnya.
Wah melihat animo masyarakat yang besar, sepertinya pameran ini perlu diadakan kembali atau sambil menunggu koleksi seni Pita Maha Bali yang direncanakan kembali akhir tahun ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI