Lagi-lagi hujan pada saat menjelang tengah malam. Dulu hujan pada malam hari ini adalah musik alami yang menemani tidurku. Rasanya kantukku dengan cepat hadir dan aku terbuai oleh derai hujan yang seperti musik yang meninabobokan.Â
Ada rasa cemas yang sulit dijelaskan ketika hujan tiba. Rasa ini kualami baru ketika tinggal dan menetap di Jakarta. Rasanya hujan menjadi semacam ancaman, padahal ia sebenarnya adalah anugerah.Â
Hujan. Kantukku malah lenyap. Aku malah waspada. Kutajamkan telinga, adakah suara bocor di sana-sini. Apakah aku perlu menaruh ember dan kain pel untuk berjaga-jaga.Â
Malam ini waktunya beristirahat. Aku malah cemas membayangkan rapat keesokan pagi. Bagaimana jika jalanan menuju lokasi pertemuan tergenang dan aku sulit menggapainya. Mungkinkah rapat akan dibatalkan?Â
Aku harus segera tidur. Besok paling lambat aku harus bangun pukul lima pagi dan bergegas berangkat pukul enam pagi. Aku pun memposisikan diriku di ranjang dan bergelung di balik selimut. Aku mulai menghitung anak domba. Tapi yang muncul malah gambaran anak kucing. Ya, sudahlah.Â
Belum sampai hitungan 100, aku mendengar sesuatu. Awalnya suara itu pelan dan samar-samar. Lama-kelamaan suara itu pelan tapi konstan. Suara anak kucing. Oh adakah anak kucing di halaman? Apakah ia kehujanan?Â
Sudah hampir tengah malam. Di luar hujan deras mengguyur. Halaman hanya disinari lampu teras yang temaram. Di manakah anak kucing malang itu berada?Â
Aku akhirnya menemukan anak kucing itu. Ia ada di dekat pagar rumahku. Oh tunggu dulu ada yang terasa janggal. Anak kucing itu memegang payung. Hah? Aku melongo.Â
Anak kucing itu sudah membawa payung tapi masih merengek. Oh payungnya kecil dan hujannya begitu deras sehingga bulunya basah. Ia menatapku dan dari matanya aku paham ia kedinginan. Ia seolah-olah berkata, bolehkah aku menumpang rumahmu sebentar hingga hujan mulai reda?Â
Aku mengangguk. Anak kucing itu berwarna hitam putih seperti penguin. Ia nampak lucu dan pintar. Aku memberinya susu hangat dan beberapa potong tuna kalengan. Ia nampak begitu gembira.Â
Aku menunjukkan boks kosong yang telah kualasi selimut. Ekornya bergerak-gerak. Ia begitu senang. Kutinggalkan ia di ruang depan yang hangat.Â