Sejak beberapa hari lampau, media sosial diramaikan dengan kicauan tentang hari film nasional. Wah bulan Maret memang spesial, pas disebut sebagai bulan seni nasional. Pasalnya pada bulan Maret ada dua hari erat kaitannya dengan seni, hari musik nasional yang jatuh 9 Maret dan hari film nasional yang diperingati hari ini, 30 Maret. Ada berbagai institusi yang memeriahkan hari film nasional, termasuk salah satunya Perpusnas RI yang terletak di bilangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.
Di antara Kalian mungkin ada yang bingung kenapa 30 Maret 1950 disebut sebagai  tonggak sejarah film nasional. Padahal jika dipikir-pikir, pada tahun 1926 sudah ada film hitam putih berjudul Loetoeng Kasaroeng. Dari tahun 1926 hingga sebelum Indonesia merdeka juga sudah lebih dari 10 film yang ditayangkan di bioskop. Ternyata alasannya, film-film sebelum tahun 1950 diproduksi oleh Belanda dan Jepang.Â
Yang benar-benar merupakan karya sineas anak bangsa pertama  adalah Darah dan Doayang berkisah tentang long march prajurit dari Yogyakarta menuju Jawa Barat.  Nah, pada tanggal 30 Maret tersebut dilakukan hari pertama pengambilan gambar film perjuangan ini.  Â
Industri film naik pesat pada pertengahan tahun 1970-an hingga tahun 1990. Kemudian karena serbuan film impor maka film nasional sempat mati suri, yang tersisa di bioskop hanya film-film yang vulgar. Untunglah sejak kehadiran Kuldesak, Daun di Atas Bantal, kemudian Sherina dan Ada Apa dengan Cinta?, industri film nasional kembali bangkit. Sejak tahun 2013 film Indonesia yang diproduksi per tahun rata-rata lebih dari 100 film. Kini film Indonesia kembali mulai diminati. Hal ini terlihat dari film  Indonesia sepanjang Januari hingga Maret 2018 yang telah mencapai 12 juta penonton. Apabila diasumsikan pendapatan kotor adalah Rp30ribu/tiket maka industri film nasional telah meraup Rp360Miliar dalam triwulan 2018 ini. Nilai yang cukup besar dan menggembirakan bagi industri kreatif.
Di kota-kota kecil di pulau Jawa saja banyak yang tidak memiliki gedung bioskop, belum kota-kota kecil di luar Jawa. Jikapun tidak ada jaringan bioskop besar yang tertarik berinvestasi di kota kecil, maka bisa dibuat bioskop-bioskop alternatif dengan tarif tiket yang terjangkau atau juga bisa dibuat ala format layar tancap.
Pameran Mini Menyambut Hari Film Nasional di Perpustakaan Nasional RI
Sebelum menikmati nobar di mini teater Perpusnas RI yang terletak di lantai 8, aku asyik melihat-lihat koleksi DVD dan VCD film Indonesia original Perpusnas. Wah rupanya koleksinya lumayan bagus-bagus, banyak di antaranya merupakan film Indonesia yang berkualitas dan ada pula yang termasuk film kontroversial sehingga membuatku penasaran untuk meminjamnya.
Setelah acara nobar, baru deh aku melihat pameran mini di lantai dasar. Di sini aku terkagum-kagum dengan khasanah tentang film nasional yang dibagikan, meski tidak banyak sih.
Nama terakhir ini relatif masih asing di kupingku. Rupanya Djaduk merupakan sutradara yang aktif berkarya di kancah perfilman sepanjang tahun 1952-1980. Ia pernah meraih penghargaan tingkat Asia, yaitu skenario terbaik pada Festival FIlm Asia tahun 1955 dengan Harimau Tjampa. Kalau Sjumandjaja aku tahunya dari buku tentang Chairil Anwar berjudul Aku, yang dipopulerkan dalam AADC.
Sjumandjaja salah satu sutradara yang mengangkat budaya Betawi. Â Ia yang menyutradarai film siDoel Anak Betawi (1973)yang melambungkan nama Rano Karno. Ia meraih empat piala citra sepanjang karirnya. Dua dari Si Doel Anak Modernuntuk kategori sutradara dan penulis skenario terbaik pada FFI 1977, satu dari Laila Majenunkategori penulis skenario terbaik pada FFI 1976, dan lainnya dari Budak Nafsukategori sutradara terbaik pada FFI 1984.
Wah rupanya ada banyak hal menarik tentang sejarah dan perkembangan film nasional. Kira-kira seperti apa ya industri film nasional lima atau 10 tahun mendatang, apakah kiranya ada yang masuk nominasi Oscar untuk kategori Best Foreign Movies? Semoga.