Saya jadi bawel sendiri: kalau pemerintah bisa membereskan masalah sampai ke akar, saya tidak perlu main-main dengan air kotor lagi. Tapi nyatanya, langkah pemerintah sering seperti orang yang malas mencabut rumput liar. Rumputnya hanya dipotong ujungnya, akarnya tetap ngumpet di tanah. Begitu musim hujan, muncul lagi, bahkan lebih rimbun.
Banyakin Aksi Daripada Wacana
Kalau ditanya soal langkah pemerintah mengatasi banjir, jawaban klasiknya pasti ada: normalisasi sungai, revitalisasi drainase, penataan kawasan rawan banjir. Tapi fakta di lapangan? Normalisasi hanya setengah hati, drainase masih mampet, kawasan tetap dibangun tanpa peduli daya tampung air.
Lucunya lagi, setiap kali pejabat datang meninjau, malah sibuk live di media sosial. Bahkan koar-koar dulu mau meninjau banjir di media sosial, seolah ada yang ribuan netizen menunggu.
Rasanya lebih seperti content creator ketimbang pemimpin. Mereka upload story: "Sedang meninjau banjir di Lembang." Lalu caption penuh janji: "Akan segera kami tindak lanjuti." Netizen tentu ramai komentar, tapi banjirnya? Tetap mengendap dengan setia.
Satire Ibu Bawel, Banjir Itu Bukan Konten
Sebagai ibu bawel yang sudah kenyang liputan banjir, saya cuma mau bilang: banjir itu bukan konten TikTok! Jangan hanya diperlakukan sebagai ajang pencitraan. Bayangkan kalau rumah pejabat itu ikut kebanjiran, apakah mereka masih santai upload story?
Kenapa langkah pemerintah selalu mengutamakan hal kosmetik? Trotoar diperindah, mural dibuat indah, tapi air tetap betah numpang di jalan. Seolah-olah pemerintah lebih takut disebut "tidak estetik" ketimbang "tidak becus". Ini mirip orang yang jor-joran belanja kosmetik tapi jarang mandi. Ya, tetap kucel bin kumel!
Dulu saya bisa ketawa-ketawa saat meliput banjir, sekarang yang ada hanya dengus panjang. Dari sekadar basah-basahan sampai jadi trauma kulit, dari foto gaya sampai tato naga palsu di betis, semua itu menjadikan banjir bukan sekadar berita musiman, melainkan sumber kebencian pribadi.
Namun, di balik satire ini, ada pesan serius: langkah pemerintah harus menyentuh akar masalah. Kalau tidak, kita semua hanya akan jadi penonton setia sinetron banjir yang tayang ulang tiap musim hujan. Bedanya, warga bukan artis, melainkan korban nyata.
Banjir, Jangan Lagi Jadi Warisan
Jadi, kalau ada pejabat yang kebetulan membaca ocehan ibu bawel ini, catat baik-baik: masyarakat bukan butuh janji, melainkan aksi nyata. Saya pribadi sudah kenyang liputan banjir. Cukuplah trauma betis saya jadi pengingat. Biar generasi selanjutnya tidak lagi menjadikan banjir sebagai warisan tahunan, apalagi bahan konten sosial media.
Karena jujur saja, saya lebih memilih liputan pasar tradisional daripada harus lagi-lagi main kasti di air comberan.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI