Ibu-ibu bawel kayak saya suka geregetan kalau lihat pejabat atau humas yang maunya cuma didengerin yang enak-enak aja. Lah, kalau ditanya soal masalah rakyat malah sewot, cabut kartu jurnalis pula.Â
Hadeuh... ini bukan arisan RT yang bisa bilang, "jangan bahas utang ya, bikin suasana nggak enak." Ini urusan kepentingan publik, Bung!
Saat Biro Pers Jadi Tukang Sensor
Ceritanya lagi ramai di media sosial, seorang jurnalis istana yang punya kartu pers resmi dicabut izin liputannya. Alasannya? Pertanyaannya dianggap keluar jalur dari agenda konferensi pers.Â
Bayangin aja, konferensi pers dimaksudkan untuk bahas kunjungan luar negeri Presiden, tapi si jurnalis nanya soal isu keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bikin ribuan anak sakit.
Buat biro pers, mungkin pertanyaan itu ganggu skenario. Tapi bagi publik, itu justru berita viral paling ditunggu.Â
Kalau jurnalis ditutup mulut, publik jadi merasa ada pembungkaman. Di sinilah blundernya biro pers: bukannya mengelola isu, malah memberi kesan takut transparansi.
Jurnalis Itu Penyambung Lidah Publik
Jurnalis bukan figuran dalam drama istana. Mereka hadir untuk menanyakan hal-hal yang kadang bikin penguasa nggak nyaman. Kalau pertanyaan soal keracunan MBG dihindari, publik bisa mikir macam-macam: ada apa yang ditutup-tutupi?
Publik maunya jelas: siapa bertanggung jawab, bagaimana pemerintah merespons, dan kapan ada solusi.Â
Kalau humas istana cuma ngotot ngomongin kunjungan luar negeri, siapa yang peduli? Lha wong anak-anak di rumah sakit butuh jawaban.
Ketidakmampuan Humas Menjaga Brand Rezim
Dalam buku Branding Itu Dipraktekin karya Tim Wesfix, ada konsep soal crisis center: tim yang seharusnya sigap memetakan ancaman terhadap brand. Nah, brand rezim Prabowo itu adalah Asta Cita. Kalau isu MBG bikin ribuan anak sakit, ya ini langsung jadi ancaman besar terhadap brand.