Mungkin gambaran pagi duka itu tampak biasa. Matahari belum terlalu terik. Seorang anak perempuan 11 tahun di Kampung Tanggulun, Citatah, Cipatat, Bandung Barat---bermain di sekitar kolam. Kolam itu bukan kolam renang. Bukan pula kolam buatan. Itu bekas tambang galian C yang ditinggalkan begitu saja setelah tak lagi menghasilkan.
Dan si anak? Pulang tinggal nama.
Sebagai ibu dari dua anak yang seumuran dengan korban, saya lelah. Lelah membaca berita duka dari lubang-lubang yang dulu katanya tambang legal---atau ilegal---entah siapa yang peduli. Yang jelas, lubang ini dibiarkan menganga, menampung air hujan, jadi jebakan maut.
Di mana pemerintah daerah ketika izin tambang dikeluarkan? Oh ya, biasanya ada yang bilang ini tambang illegal. Lalu, membersihkan nama baik dengan kalimat: kami akan tertibkan. Maksudnya bagaimana?
Di mana mereka saat pekerja tambang kerja tanpa pelindung, seperti kasus di Cirebon yang beberapa waktu lalu memakan korban karena tebing longsor?
Dan yang paling menyakitkan: di mana tanggung jawab mereka saat tambang tak lagi dipakai, tapi ditinggalkan begitu saja?
Reklamasi? Ah, kata manis dalam dokumen yang tidak pernah diwujudkan.
Kalau ditanya, pejabat akan bilang, "Kami sudah memberi imbauan."
Imbauan? Untuk lubang maut?
Lucunya, ketika investor datang, izin bisa keluar dalam semalam. Tapi kalau rakyat minta tanggung jawab, jawabannya "sedang dikaji", "sedang dikoordinasikan", atau "bukan kewenangan kami". Hebat.
Anak perempuan itu bukan korban pertama. Dan kalau dibiarkan, juga bukan yang terakhir.
Wahai pejabat di Bandung Barat, berapa banyak nyawa lagi yang harus hilang sebelum kalian turun tangan?
Kita tidak minta yang muluk-muluk. Hanya satu: kalau kalian bisa buka tambang, tolong tutupnya jangan pakai doa dan abaikan saja. Tutup secara fisik. Reklamasi. Kembalikan tanah ini ke ibu pertiwi, bukan jadi kolam kematian.