Mohon tunggu...
Dewiyatini
Dewiyatini Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga

Penulis Lepas, Kontributor, Fotografer Amatir, Videographer Kulakan, Tukang Dongeng, Separuh IRT, Separuh Pekerja Lepas, Kurir Makan Siang, Camilan Hunter, Fans Bakso-Thing, Eksperimental Chef, Bodyguard Suami.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kompak Atau Dipaksa Kompak?

15 Juli 2025   10:55 Diperbarui: 15 Juli 2025   10:55 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/tv-layar-datar-di-dinding-putih-1181734/

Sekilas, tugas Koordinator Kelas atau yang akrab disebut Koorlas, terdengar mulia. Katanya sih, jadi jembatan antara guru dan orang tua. Tapi kenyataannya, kok justru jadi sumber pengeluaran tambahan yang entah dari mana datangnya?

Awalnya kami para orang tua dikumpulkan untuk memilih koorlas. Katanya biar memudahkan komunikasi. Tapi seiring waktu, komunikasi itu berubah jadi instruksi, dan bukan sembarang instruksi---melainkan daftar kewajiban baru yang menyedot dompet kami pelan-pelan.

Contohnya? Uang kas orang tua. Lah, anak-anak sudah ada uang kas sendiri, kenapa harus ada versi orang tua juga? Buat apa? Katanya sih untuk "kebutuhan kelas". Lalu muncul kegiatan foto bersama plus makan bersama. Makan bersama di luar, pakai uang iuran, dan tentu ongkos masing-masing.

Baru-baru ini, muncul voting---dadakan tentu saja---tentang pembuatan kaos kelas. Urgensinya apa? Entahlah. Pengalaman sebelumnya, kaos dan jaket kelas cuma dipakai sekali pas outing, setelah itu nganggur di lemari.

Tak berhenti di situ. Untuk lomba keindahan kelas, orang tua disuruh datang ke sekolah untuk menghias. Katanya sih demi kekompakan. Tapi mengapa kekompakan kelas anak-anak malah jadi beban logistik orang tua?

Yang paling menyentil adalah ketika sekolah negeri, yang katanya gratis, justru menyimpan biaya-biaya terselubung. SPP memang gratis. Tapi tiap bulan selalu saja muncul pengeluaran baru: celana PDL, kaos ekskul, kemeja OSIS, kegiatan berenang (yang tempatnya di luar kota!), dan sebagainya. Dan lucunya, hanya renang yang wajib, sedangkan cabang olahraga lain dianggap ekstra kurikuler.

Kenapa sih semua ini terjadi? Salah satu jawabannya ada pada peran koorlas yang menyimpang dari fungsinya. Dari yang tadinya membantu komunikasi dan koordinasi, jadi seperti EO mini yang membuat agenda-agenda tambahan yang tak semua orang tua mampu dan sepakat.

Kami tidak anti kegiatan, tidak anti kebersamaan. Tapi tolong, jangan paksa semua orang tua ikut arus tanpa kompromi. Apalagi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak mendesak dan tidak wajib.

Kami cuma ingin jujur: capek. Bukan hanya capek fisik dan finansial, tapi juga capek mental. Karena kalau tidak setuju, kita dianggap tak kompak, tak peduli, atau tak mau ikut kegiatan anak. Padahal kami juga ingin mendampingi anak---tapi dengan cara yang wajar dan adil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun