Perempuan. Setiap hari ada saja hal baru yang membuktikan bahwa di mata sebagian orang, mereka tak lebih dari objek. Entah itu objek candaan, objek penghakiman, atau bahkan objek transaksi. 2025, tapi cara pandang terhadap perempuan masih berkisar antara dapur, kasur, dan jadi alat negosiasi.
Mari kita mulai dari stigma yang tak pernah mati: janda. Ya, status yang sering dijadikan bahan olok-olok, bahkan sampai masuk dalam kampanye politik.Â
Dalam Pilkada Jakarta kemarin, seorang kandidat menggunakan status "janda" sebagai senjata politik, seolah-olah menjadi janda adalah suatu kehinaan.Â
Seakan-akan kehilangan pasangan---karena perceraian atau kematian---adalah alasan untuk dihukum sosial seumur hidup. Dan ironisnya? Banyak yang tertawa. Banyak yang menikmati.
Lanjut ke level lain dari kebodohan publik: pertanyaan tak bermoral yang dibalut dalam topeng "guyonan." Dedy Corbuzier, dalam salah satu wawancaranya, tanpa ragu bertanya kepada seorang tamu apakah dia masih perawan atau tidak.Â
Betapa normalnya menanyakan hal yang begitu personal dan tak ada hubungannya dengan kapasitas seseorang. Seakan-akan nilai perempuan diukur dari selaput tipis yang bahkan bisa robek karena olahraga. Dan masyarakat? Mereka membiarkannya, menertawakannya, dan menganggap itu wajar.
Lalu ada Ahmad Dhani, yang dengan santainya memberi solusi bagi naturalisasi pemain bola: nikahkan saja atlet sepakbola dari luar yang sudah berusia matang dengan perempuan Indonesia!Â
Sederhana, bukan? Jadikan perempuan sebagai alat untuk mendapatkan pemain bola berkualitas. Sebuah transaksi menggiurkan. Negara butuh pemain bola, perempuan bisa dikorbankan. Semudah itu. Seolah-olah perempuan ini bukan manusia, hanya sekadar alat yang bisa dimanfaatkan demi kepentingan nasionalisme sepak bola.
Tapi yang lebih menyedihkan dari semua ini? Perempuan melawan perempuan.Â
Ketika seorang janda menikah lagi lima bulan setelah bercerai, siapa yang paling dulu mencemooh? Perempuan lain. "Terlalu cepat." "Tidak memikirkan anak." "Kenapa buru-buru?"Â