Dulu Arsenal terkenal sebagai tim yang membeli pemain-pemain "antah berantah" macam Patrick Vieira, Robert Pires, Thierry Henry hingga Robin Van Persie dengan harga murah, kemudian memolesnya hingga menjadi legenda klub, atau mempromosikan pemain binaan akademinya macam Ashley Cole atau Francesc Fabregas.
Semangat dan sentuhan 'Midas' sang profesor, Arsene Wenger, mengalir dalam setiap kebijakan transfer klub dan pembinaan pemain-pemainnya. Namun impak dari hutang yang dibebankan kepada Arsenal adalah eksodus besar-besaran para pemain bintangnya.
Vieira, Henry, Cole, Nasri, Fabregas, Van Persie, hingga Alexis Sanchez keluar dari Arsenal dengan alasan menyeimbangkan neraca keuangan klub. Dan ironisnya, hampir semua pemain jebolan Arsenal mendapatkan kesuksesan luar biasa di klub barunya masing-masing.Â
Tentu yang paling menyakitkan adalah kepindahan Van Persie ke seteru abadi Arsenal, Manchester United. Di Manchester United, Van Persie menjadi protagonis yang menyumbangkan gelar Liga Inggis ke dua puluh bagi tim rival Manchester City tersebut.
Namun sebagai manusia biasa, saya pun pasti akan pergi ke tempat lain yang menjanjikan sesuatu yang tidak bisa didapat di tempat sebelumnya. Di jendela transfer tiap musimnya, pembelian Arsenal hanya nampak seperti panic buying karena sering kalah bersaing dengan tim-tim lainnya. Sehingga sering tambahan amunisi bagi Arsenal tidak sesuai dengan skema permainan yang sudah ada sebelumnya.
Komplikasi dari beragam masalah yang dihadapi Arsenal pada akhirnya semakin menggerus eksistensinya di Liga Primer Inggris. Awalnya Arsenal berstatus sebagai penantang terkuat untuk dapat bersaing merebut gelar juara liga pada setiap musimnya, kemudian bergeser sebagai tim dengan status penantang untuk memperebutkan status sebagi Big Four.
Belakangan ini, Arsenal kian terpuruk dengan hanya menjadikan finis di zona Liga Champions sebagai target realistik tiap musimnya. Hal ini diperburuk dengan Totenham Hotspur yang dapat finis di atas Arsenal selama beberapa musim belakangan. Sesuatu yang kian menunjukkan kalau ada sesuatu yang salah di tubuh Arsenal.
Masa-masa sekolah saya (dan juga masa-masa kejayaan Arsenal) memang sudah lama berakhir, namun kehidupan saya masih harus berlanjut. Dan tebak, saya pun masih menjadi seorang gooners sampai sekarang.
Namun menjadi seorang fans Arsenal itu bagai candu. Cinta pertama saya dalam sepak bola adalah Arsenal. Mungkin saya kadang marah melihat inkonsistensi permainan Arsenal setiap minggunya, namun itu tidak akan melunturkan cinta saya kepada Arsenal.
Generasi penyuka sepak bola zaman sekarang tidak akan tahu bagaimana nikmatnya permainan Arsenal untuk ditonton. Bagi saya, menjadi pecinta Arsenal adalah lambang suatu kesetiaan di tengah ketidakpastian.Â