Kedua tangan Taufiq gemetar. Pipinya berlinang air mata saat mendengar Pendeta Wahyu Nugroho mengumandangkan Shalawat Nabi ketika ibadah Natal di GKJ (Gereja Kristen Jawa) Margoyudan, Kamis (24/12/2015). (Tribunews,Jumat,25/12/2015).
Taufiq ialah salah satu dari sekian mahasiswa UIN Kalijaga, Yogyakarta, yang menghadiri misa Natal pada hari Kamis malam. Sedangkan Wahyu Nugroho sendiri ialah dosennya di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam pada universitas yang sama.
Apa yang ditunjukkan oleh Taufik dan Wahyu bagai oase di tengah-tengah gersangnya "gurun" toleransi di Indonesia. Meskipun tidak serta-merta menutupi seluruh lobang hitam pelbagai kasus intoleran, namun kumandang Shalawat Nabi di tengah-tengah misa Natal bak memberi secercah angin segar pertanda bahwa sikap toleransi masih dipegang oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Sepanjang tahun 2015, Indonesia memang menorehkan setumpuk catatan "prestasi" kasus-kasus intoleran yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Pembakaran Masjid di Tolikara yang dilanjutkan dengan pembakaran Gereja di Aceh Singkil adalah contoh terdepan "jelaga hitam" kasus intoleransi beragama di tanah NKRI.
Mirisnya, kasus intoleransi juga melibatkan unsur pemerintahan daerah. Walikota Bogor, Bima Arya, melarang kegiatan Asyura yang biasa dilakukan oleh minoritas muslim Syiah setiap tanggal 10 Muharram. Senator asal Bali, Arya Wedakarna, juga kerap melakukan intoleransi melalui berbagai ucapannya, yang terbaru ialah pernyataannya bahwa Bali bisa menjadi seperti Israel.
Saya sengaja tidak memasukkan pelarangan pemakaian atribut Natal oleh umat Islam dan larangan pemaksaan pemakaian atribut Natal para karyawan muslim ke dalam rangkaian gerbong kasus intoleran, meski terjadi sweeping yang dilakukan oleh FPI Jawa Timur dua hari yang lalu terhadap beberapa mall di Surabaya. Setidaknya ada satu alasan kuat yang mendasarinya.Â
Pertama, larangan dalam Islam, melalui hadist Nabi Saww, untuk ber-tasyabbuh atau menyerupai non muslim. Meskipun atribut Natal, misalnya topi Sinterklas, tidak tercantum dalam Kitab Suci umat Kristiani, namun tidak bisa dipungkiri bahwa atribut itu telah menjadi identitas bagi umat Kristiani.
Posisi saya sama halnya dengan pemaksaan berjilbab bagi umat beragama non muslim dan karyawan non Muslim pada saat hari besar Islam. Saya menolak keras!
Satu hal yang saya sayangkan ialah ketimpangan masyarakat Indonesia dalam menyikapi suatu kasus yang sama. Ketika Muslim memprotes pemakaian atribut Natal, maka telunjuk intoleran segera dilayangkan. Berbeda dengan halnya ribut-ribut perihal pemakaian jilbab bagi karyawan non muslim di Bali, maka dipandang sebagai sesuatu yang wajar.
Islam, sebagai agama yang penulis anut, jelas mengutuk keras sikap-sikap intoleran. Ayat-ayat dan fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam menjunjung tinggi hak kebebasan beragama.
Ayat "La Iqraha fii Ad-diin" atau "tiada paksaan dalam beragama" telah cukup menjadi landasan bagi setiap pribadi Muslim bahwa Islam menjamin kebebasan beragama, memilih agama dan menjalankan agama sesuai dengan ajaran yang diyakininya.