Salam neraka!
Medio 2009 jagad media sosial "facebook" dihebohkan oleh tulisan seseorang bernama Abrania Fitriani yang mengaku mantan kader PKS. Dalam tulisannya yang berjudul "Benarkah PKS Pro Rakyat", Abrania mengungkap seberapa bahayanya ideologi partai berlambang padi di antara dua bulan sabit tersebut. Sayangnya, tulisan itu diposting pertama kali justru bukan oleh Abrania, melainkan -konon- oleh "gembong" JIL, Ulil Abshar Abdalla.
Kemunculan postingan Abrania tersebut sangat berdekatan dengan beredarnya buku "Ilusi Negara Islam", yang diterbitkan oleh Wahid Institute. Dalam buku itu, PKS juga disoroti mengenai ideologinya yang dikatakan sebagai penjelmaan dari Ikhwanul Muslimin dan berafliasi secara ideologi keagamaan dengan Wahabi. Singkat kata, PKS dimasukkan ke dalam bahasan kelompok-kelompok yang berniat mendirikan negara Islam.
Sontak berbagai bantahan pun muncul. Kubu PKS menganggap bahwa isi buku tersebut sebagai fitnah yang keji dan sarat dengan muatan politik. Bisa jadi benar, menimbang waktu kemunculan buku tersebut yang berdekatan dengan Pileg dan Pilpres kala itu. Sejak saat itu lah di dunia maya, khususnya, beredar ungkapan bahwa ideologi politik PKS jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan ideologi keagamaannya.
Lalu benarkah ideologi PKS berbahaya? Penulis (Dewa Gilang) melacak akar ideologi PKS yang menurut beberapa informasi berkaitan erat dengan Ikhwanul Muslim, orgabisasi pergerakan Islam yang didirikan oleh Hasan Al-Banna dan kemudian berubah menjadi partai. Tokoh IM yang menjadi sorotan penulis ialah Sayyid Qutub.
Adapun pemilihan nama Sayyid Qutub sebagai inti pembahasan pada artikel ini, lebih disebabkan karena pemikiran Beliau yang banyak beredar di kalangan muslim kampus dan juga menimbang IM mendapatkan titik baliknya melalui pemikiran Sayyid Qutub. Selain itu Sayyid Qutub juga banyak menjadi pokok bahasan oleh para pemikir barat dan timur.
Oleh pemikir barat Sayyid Qutub dianggap sebagai pendiri fundamentalisme dan radikalisme dalam Sunni. Karya-karya Beliau, seperti "Ma'alim Fi Tariq" dan "Fi Zilalil Quran" dipandang memegang pengaruh besar terhadap berkembangnya Islam garis keras. Untuk yang satu ini, maka "Fi Zilalil Quran"-lah yangsering disoroti sebagai karya yang dianggap kanonikal menurut para aktivis gerakan radikal.
Kemudian, oleh pemikir Timur, semisal Yusuf Qardhawi, yang juga tokoh dari IM, Sayyid Qutub juga menuai kritikan tajam, terutama terhadap karyanya "Fi Zilalil Quran". Pada Minggu, 9 Agustus 20009, Yusuf Qardhawi melalui situs resminya mengeluarkan pernyataan bahwa karya-karya Sayyid Qutub, yang ditulis pada periode belakangan, termasuk "Fi Zilalil Quran", merupakan karya radikal dan galak, yang harus iktu bertanggung jawab atas merebaknya Islam garis keras akhir-akhir ini.
Bukan kenapa mengapa "Fi Zilalil Quran" menuai kritikan yang sangat deras nan tajam. Dalam tafsirnya, Sayyid Qutub kerap membagi masyarakat Islam secara diametris menjadi dua golongan. Penggolongan "minna" (in group) untuk mengindentifikasi kelompoknya, dan "minhum" (out group) bagi di luar kelompoknya.
Dalam konteks ini, Sayyid Qutub senantiasa mempertentangkan antara identitas Islam versus jahiliyyah, iman versus kafir, benar bersus salah, kedaulatan Tuhan versus kedaulatan manusia, Allah versus berhala (Thagut), metode ilahi versus metode setan, dan seterusnya.
Jika ideologi Sayyid Qutub ini dicerna oleh anak bangsa negeri ini, maka kita bisa membayangkan ancaman yang akan menanti NKRI. Sebab, menurut pandangan Sayyid Qutub, tak ada hukum kecuali hukum Tuhan dan semuanya harus bernanung di bawah "khilafah Islamiyyah". Pancasila yang dianut oleh negara RI dipandang sebagai metode setan yang harus digantikan oleh metode/sistem Tuhan.