Ketika Guru Mulai Terpinggirkan
Dahulu, guru dipandang sebagai sosok yang bijak, sumber ilmu, panutan moral, dan penuntun arah hidup. Kini, di tengah derasnya arus digital, guru sering kali terpinggirkan oleh teknologi, sistem birokrasi, dan budaya instan. Segala hal seolah bisa dipelajari lewat layar. Seperti belajar bahasa inggris dan pelajaran matematika di YouTube, belajar sejarah di TikTok, bahkan bimbingan moral, curhat dan mencari solusi dengan menggunakan aplikasi AI.
Tetapi ada sesuatu yang hilang dari semua itu, sesuatu yang tak bisa diberikan algoritma yaitu sentuhan kebijaksanaan manusia. Dan di sinilah guru seharusnya berdiri, bukan hanya sebagai pengajar, tapi sebagai filsuf kehidupan.
1. Guru dan Krisis Eksistensi di Dunia Modern
Jean-Paul Sartre pernah berkata bahwa "eksistensi mendahului esensi." Artinya, manusia pertama-tama ada, lalu menentukan maknanya melalui tindakan. Begitu pula guru, mereka tidak lagi bisa menggantungkan jati diri pada gelar, pangkat, atau struktur birokrasi. Guru modern harus berani bertanya, Untuk apa saya mengajar? Apa makna saya di tengah sistem yang serba cepat ini? Pertanyaan itu bukan kelemahan, melainkan awal kesadaran. Dalam pandangan filsafat eksistensialisme, justru di saat manusia mulai mempertanyakan dirinya, di situlah ia benar-benar ada. Guru yang sadar akan dirinya akan mengajar bukan sekadar untuk menyelesaikan kurikulum, tetapi untuk membangunkan kesadaran kemanusiaan murid-muridnya.
2. Foucault dan Guru yang Tersandera Sistem
Michel Foucault mengingatkan bahwa pengetahuan dan kekuasaan sering kali saling terkait. Dalam sistem pendidikan modern, guru justru kerap menjadi alat dari mekanisme kekuasaan yang dikekang oleh laporan daring, aturan administratif, dan kurikulum yang seragam. Akibatnya, guru kehilangan kebebasan berpikir. Mereka sibuk mengejar nilai dan standar, hingga lupa bahwa inti dari pendidikan adalah membebaskan manusia. Namun seperti kata Foucault, kesadaran adalah bentuk perlawanan. Ketika guru tetap berani menghadirkan nilai kemanusiaan yaitu empati, moralitas, dan berpikir kritis --- di tengah sistem yang kaku, di sanalah ia melakukan bentuk perlawanan paling mulia.
3. Heidegger dan Guru yang "Terlempar" ke Dunia Teknologi
Martin Heidegger menyebut bahwa manusia hidup dalam kondisi Geworfenheit", Â terlempar ke dunia yang tidak ia pilih. Guru hari ini juga "terlempar" ke dunia teknologi yang serba cepat, di mana murid lebih akrab dengan ponsel daripada buku, dan nilai moral kalah cepat dengan notifikasi media sosial. Namun Heidegger mengingatkan, manusia bisa memilih cara untuk hadir di dunia yang melemparkannya. Guru dapat memilih untuk hadir secara otentik bukan hanya mengajar, tapi benar-benar menemani proses menjadi manusia. Guru yang hadir dengan empati, kesabaran, dan ketulusan adalah bentuk paling nyata dari filsafat yang hidup, bukan di ruang kuliah, tapi di ruang kelas yang nyata.
4. Teknologi: Lawan atau Kawan?
Banyak yang takut teknologi akan menggantikan peran guru. Padahal, secara filosofis, teknologi hanyalah alat, bukan makna. AI bisa menyampaikan pengetahuan, tetapi tidak bisa menghidupkan nilai. Mesin bisa menjawab soal, tetapi tidak bisa memahami air mata murid yang gagal. Justru di sinilah kesempatan besar bagi guru masa kini, menjadi penafsir nilai di era data, menjadi penjaga kemanusiaan di tengah mesin-mesin cerdas. Guru tidak perlu menyaingi teknologi, ia hanya perlu menjadi lebih manusia yang bisa mendampingi dan memberikan nilai kepada pengetahuan yang diterima muridnya.
