Mohon tunggu...
Devy Puspita
Devy Puspita Mohon Tunggu... Content Writer

just; chocolate, ice cream, and strawberry.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangkit dari Krisis: Rahasia Hidup Imam al-Ghazali

30 September 2025   09:03 Diperbarui: 30 September 2025   09:03 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imam al-Ghazali lahir pada tahun 1058 di Tus, Persia. Sejak kecil, ia dikenal cerdas dan haus akan ilmu. Ia menekuni berbagai cabang pengetahuan: fiqh, teologi, logika, hingga filsafat. Bakatnya membuatnya cepat dikenal, dan pada usia yang masih muda, ia diangkat menjadi kepala Madrasah Nizamiyah di Baghdad, salah satu lembaga pendidikan Islam paling bergengsi saat itu.

Di mata banyak orang, hidupnya sudah sempurna. Kehormatan, ilmu, dan pengakuan ada di tangannya. Namun, di balik semua itu, al-Ghazali mulai merasakan kehampaan batin. Ia menyadari bahwa pencapaian duniawi tidak selalu sejalan dengan ketenangan hati dan kedekatan spiritual dengan Allah.

1. Krisis Spiritual yang Mengguncang

Di puncak kejayaannya, al-Ghazali tampak sempurna di mata dunia. Ia adalah kepala Madrasah Nizamiyah, dihormati banyak ilmuwan, dan dianggap sebagai salah satu pemikir terhebat pada zamannya. Namun, di balik semua itu, hatinya bergejolak dengan pertanyaan yang tidak bisa diabaikan:

"Apakah semua ini benar-benar bermanfaat? Apakah ilmu yang aku kejar ini hanya untuk membanggakan diri sendiri?"

Setiap hari, saat menyampaikan kuliah di hadapan para muridnya, ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Ilmu yang ia bagikan seharusnya menuntun jiwa menuju Allah, namun ia menyadari banyak murid dan bahkan dirinya sendiri mulai mengukurnya dari pujian manusia, kedudukan, dan pengakuan.

Kegelapan batin itu semakin terasa saat malam tiba. Dalam keheningan kamarnya, al-Ghazali termenung lama, memandang langit yang gelap, dan merasakan kekosongan yang menusuk. Dunia yang begitu ia banggakan terasa hampa. Pesta pujian, penghargaan, dan gelar-gelar tinggi kini terasa seperti topeng yang menutupi kehampaan hatinya.

Konflik batin itu membuatnya sakit secara emosional. Ia sering menangis sendiri, meratapi pertanyaan tentang makna hidup. Rasanya seperti berjalan di tengah keramaian namun tetap merasa kesepian, seperti berada di puncak gunung tinggi namun udara yang dihirup terasa tipis dan menyesakkan.

Semua ini memuncak pada satu titik: al-Ghazali menyadari bahwa jika ia terus berada di dunia itu, hatinya akan mati, ilmunya akan sia-sia, dan tujuan sejatinya---mendekatkan diri kepada Allah---akan hilang. Keputusan besar pun lahir dari pergulatan batin ini: meninggalkan jabatan, harta, dan kenyamanan dunia, serta menapaki jalan pengasingan untuk menemukan makna hidup sejati.

Dalam perjalanan spiritual ini, al-Ghazali menghadapi banyak godaan dan keraguan. Kadang ia tergoda kembali ke kehidupan lama, berpikir bahwa ia meninggalkan segala sesuatu sia-sia. Namun hatinya yang gelisah terus menuntunnya untuk mencari jawaban yang tidak akan ia temukan di gemerlap dunia: kedekatan yang tulus dengan Sang Pencipta.

2. Perjalanan Menemukan Makna Hidup

Setelah meninggalkan jabatan dan kemewahan dunia, al-Ghazali memulai perjalanan yang sunyi dan penuh tantangan. Ia pergi meninggalkan Baghdad, kota yang dulu penuh dengan hiruk-pikuk pujian dan gelar, menuju tempat-tempat terpencil di mana ia bisa merenung dan mendekatkan diri pada Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun