Mohon tunggu...
Devi Zahrotul ulya
Devi Zahrotul ulya Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Seorang mahasiswa yang hoby mecari hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

tugas artikel ulumul tentang memahami hadist sumber hukum kedua setelah alquran

2 Mei 2025   21:29 Diperbarui: 2 Mei 2025   21:29 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar bagan hadist mutawatir dan hadist ahad. Sumber: Dok. Pribadi (ilustrasi dihasilkan dengan openAI)

Secara bahasa, kata hadis () berasal dari bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru, ucapan, berita, atau pembicaraan. Dalam konteks Al-Qur'an, kata ini juga digunakan untuk merujuk pada kisah atau informasi tertentu. Adapun secara istilah, hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir), maupun sifat-sifat beliau, yang berkaitan dengan ajaran dan hukum Islam.

Hadis menjadi pedoman penting dalam Islam karena berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap terhadap ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an.Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an. Selain sebagai landasan hukum, hadis juga berperan sebagai pedoman (hudan linnas), penjelas, perinci, dan penafsir isi Al-Qur'an. Al-Qur'an sendiri hadir sebagai petunjuk yang bersifat menyeluruh bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Fungsinya antara lain adalah melindungi lima prinsip dasar kehidupan, yaitu menjaga agama dan keyakinan, menjaga kehormatan dan martabat, melindungi akal dan pikiran, menjaga harta kekayaan, menjaga kelangsungan keturunan serta hubungan antarmanusia, dan melestarikan alam semesta. Oleh karena itu, kajian tentang hadis menempati posisi yang sangat penting dalam studi mengenai sumber-sumber ajaran Islam. Secara umum, hadis mencakup segala hal yang dibicarakan, baik yang dituliskan maupun yang diucapkan secara lisan. Secara terminologis, hadis memiliki makna yang setara dengan sunnah, yaitu segala hal yang berasal dari Nabi Muhammad---baik berupa ucapan, tindakan, maupun persetujuan beliau---yang berkaitan dengan persoalan-persoalan syariat. Karena informasi dari Nabi memiliki nilai yang sangat penting, maka segala sesuatu yang dinisbatkan kepadanya dijadikan sebagai rujukan hukum setelah Al-Qur'an. Hal ini menjadikan hadis sebagai sumber hukum kedua yang tak terpisahkan dalam ajaran Islam.

Dalam perjalanan sejarahnya, hadis-hadis Nabi telah diriwayatkan oleh para sahabat, baik secara individu maupun berkelompok, dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sampai kepada para pengumpul hadis (mukharrij). Hadis yang disampaikan secara individu, bahkan jika hanya terjadi pada satu tingkatan sanad (tabaqah), disebut sebagai hadis ahad. Hadis jenis ini memiliki jumlah perawi yang terbatas---satu atau dua orang saja---pada satu atau lebih tingkatan sanad, sehingga tidak memenuhi kriteria hadis mutawatir. Sementara itu, hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanad disebut hadis mutawatir. Jenis hadis ini disampaikan oleh sejumlah besar periwayat yang secara logika mustahil bersekongkol untuk berdusta, sehingga kebenarannya diyakini. Dalam hal ini, menyampaikan kebenaran adalah bentuk pembelaan terhadap yang benar dan penolakan terhadap kebatilan. Oleh karena itu, kaum Muslimin memberikan perhatian besar terhadap validitas hadis, baik untuk menetapkan suatu ilmu maupun sebagai dasar pengambilan hukum, terlebih jika berkaitan langsung dengan Nabi Muhammad SAW atau segala sesuatu yang dikaitkan dengan ucapan dan tindakannya(Suhartawan & Hasanah, 2022).

Pengertian Hadist Mutawatir

Secara etimologis, kata mutawatir berasal dari kata mutatabi, yang dalam bahasa Indonesia berarti silih berganti atau berurutan satu setelah yang lain. Sementara itu, dalam istilah (terminologi) ilmu hadis, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, sehingga menurut kebiasaan umum, mustahil mereka bisa sepakat untuk berdusta. Berdasarkan pengertian tersebut, para ulama menetapkan bahwa agar suatu hadis dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir, harus memenuhi empat syarat utama.

Syarat pertama: Hadis harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi. Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai jumlah minimal perawi yang diperlukan. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya tidak boleh kurang dari dua, merujuk pada jumlah minimal saksi dalam kasus perselisihan harta. Sebagian lainnya mensyaratkan empat perawi, sesuai dengan jumlah saksi dalam kasus perzinahan. Ada pula yang menetapkan lima perawi, mengacu pada jumlah Nabi yang bergelar ul al-'azmi. Sementara itu, ada pendapat lain yang menyatakan minimal sepuluh jalur periwayatan, sesuai dengan awal jumlah yang dianggap sebagai jama' katsrah (jumlah banyak). Pendapat terakhir ini dianggap sebagai pendapat yang paling kuat (al-mukhtr) menurut Imam Al-Ustahri, sebagaimana dikutip oleh Al-Suy.

Syarat kedua: Jumlah perawi yang banyak itu harus tetap konsisten di setiap tingkatan generasi (thabaqah) dalam rantai periwayatan. Jika pada salah satu tingkatan sanad jumlah perawinya kurang dari batas minimal yang disyaratkan untuk hadis mutawatir, maka hadis tersebut tidak lagi tergolong mutawatir, melainkan termasuk dalam kategori hadis hd.

Syarat ketiga: Secara logis dan berdasarkan kebiasaan umum, para perawi tersebut mustahil bersekongkol untuk melakukan kebohongan bersama-sama. Hal ini biasanya terjadi apabila para perawi berasal dari berbagai daerah yang berbeda, tidak saling mengenal, dan tidak pernah berhubungan satu sama lain.

Syarat keempat: Hadis mutawatir harus bersumber dari pengalaman pancaindra, seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, peraba, atau perasa. Artinya, informasi dalam hadis tersebut harus diperoleh secara langsung melalui salah satu indera tersebut. Jika sebuah berita hanya bersandar pada penalaran logis atau berkaitan dengan persoalan keyakinan (i'tiqd), maka tidak dapat digolongkan sebagai mutawatir. Hal ini karena informasi yang diperoleh melalui akal bukanlah hasil dari proses periwayatan, melainkan dari pemikiran. Contohnya adalah pernyataan bahwa tiga puluh adalah setengah dari enam puluh---kebenaran ini diketahui lewat logika, bukan karena disampaikan oleh banyak orang melalui pengamatan langsung.

Macam -- Macam Hadist Mutawatir

Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua macam, yaitu Mutawatir lafdzi dan Mutawatir ma'nawi.

  • Mutawatir lafdzi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun