Mohon tunggu...
Devi Ayu Vedani Putri
Devi Ayu Vedani Putri Mohon Tunggu... Guru

Seorang pendidik yang percaya bahwa belajar adalah proses seumur hidup. Saat ini, saya sedang menempuh studi S2 Pendidikan IPA untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan. Kompasiana ini menjadi sarana bagi saya untuk memublikasikan karya ilmiah dan refleksi seputar dunia pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendidik Generasi Sadar Ruang: Sinergi Tri Hita Karana dalam Kurikulum Pembelajaran SMA dengan Pengawasan Partisipatif Kebijakan Tata Ruang

6 Oktober 2025   15:06 Diperbarui: 6 Oktober 2025   15:06 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mind Map Tata Kelola Ruang dengan Konsep Tri Hita Karana (Sumber: Arsip Penulis)

Setiap pagi, jalan yang dilalui Kadek menuju gerbang sekolahnya di kawasan Kuta Utara adalah sebuah galeri lanskap yang bergerak. Hamparan sawah subak yang hijau membentang, memantulkan cahaya mentari pagi, diiringi gemericik air irigasi yang menjadi musik latar perjalanannya. Namun, dalam hitungan beberapa semester saja, galeri itu perlahan dibongkar. Pematang sawah yang dulu menjadi batas alamiah kini digantikan oleh dinding beton abu-abu sebuah proyek vila. Suara alam yang menenangkan kini tenggelam oleh deru bising mesin konstruksi. Kadek dan teman-temannya mungkin hanya bisa menggerutu di media sosial, mengunggah foto perbandingan "dulu dan sekarang", merasa tak berdaya melihat ruang hidup mereka berubah drastis tanpa bisa berbuat apa-apa.

Kisah Kadek bukanlah anomali; ia adalah potret keseharian ribuan remaja di Bali. Mereka adalah saksi mata dari transformasi ruang yang masif, namun seringkali hanya menjadi penonton pasif di tribun terdepan. Kegelisahan personal ini adalah cerminan dari sebuah masalah kolektif yang lebih besar: adanya jurang pemisah antara generasi muda dengan proses penataan ruang di tanah kelahiran mereka sendiri. Artikel ini akan mengupas bagaimana jurang tersebut dapat dijembatani melalui sinergi antara pendidikan berbasis kearifan lokal Tri Hita Karana (THK) di sekolah dengan gerakan pengawasan kebijakan yang partisipatif, demi melahirkan generasi yang tidak hanya sadar, tetapi juga berdaya dalam menjaga ruang hidupnya.

Mengangkat isu ini menjadi krusial di tengah paradoks pembangunan Bali. Di satu sisi, Bali dipuja karena lanskap budaya dan alamnya yang unik, sebuah manifestasi fisik dari filosofi Tri Hita Karana. Di sisi lain, laju pembangunan ekonomi yang ditopang oleh sektor pariwisata seringkali berjalan tanpa kendali dan justru menggerus esensi dari filosofi tersebut. Data menunjukkan tren alih fungsi lahan sawah yang sangat mengkhawatirkan---diperkirakan ratusan hektar hilang setiap tahunnya untuk berubah menjadi beton akomodasi komersial. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada ketahanan pangan dan merusak tatanan ekologis (aspek Palemahan), tetapi juga memicu konflik sosial terkait akses air dan kepadatan pemukiman (aspek Pawongan), serta secara bertahap mengancam kesucian beberapa kawasan sakral (aspek Parahyangan).

Secara sosial, generasi muda Bali kini tumbuh dalam lingkungan visual yang kontradiktif. Mereka diajarkan tentang harmoni THK di pura dan lingkungan keluarga, namun menyaksikan disrupsi harmoni itu di jalanan setiap hari. Dari sisi pendidikan, kurikulum yang ada saat ini cenderung bersifat teoretis dan kurang memberikan ruang bagi siswa untuk menganalisis secara kritis kondisi riil di sekitar mereka. Kebijakan vital seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terasa sebagai dokumen teknokratis yang jauh dari jangkauan pemahaman dan kepedulian mereka. Akibatnya, lahir sebuah generasi yang secara kultural kaya, namun secara sipil kurang terberdayakan untuk terlibat dalam isu-isu fundamental yang akan menentukan masa depan mereka. Maka dari itu, mendidik kesadaran ruang sejak dini bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan absolut.

 

Tri Hita Karana: Kompas Spiritual dalam Arsitektur dan Tata Ruang Bali

Untuk memahami akar masalah tata ruang di Bali, pertama-tama kita harus memahami kompas filosofis yang seharusnya menjadi pemandunya: Tri Hita Karana. Konsep ini lebih dari sekadar slogan budaya; ia adalah sebuah cetak biru kosmosentris yang terwujud dalam tatanan fisik dan sosial masyarakat Bali. Tiga pilar harmoni yang menjadi dasarnya adalah:

  1. Parahyangan: Harmoni antara manusia dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Dalam konteks tata ruang, pilar ini diterjemahkan menjadi penempatan ruang-ruang suci sebagai orientasi utama. Konsep hierarki ruang Sanga Mandala mengatur pembagian zona berdasarkan tingkat kesucian dengan orientasi kaja-kangin (arah gunung yang dianggap suci dan arah matahari terbit) sebagai titik paling luhur. Inilah mengapa Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem) selalu menjadi pusat spiritual dan acuan tata letak sebuah desa adat. Bangunan tidak boleh lebih tinggi dari pohon kelapa, sebuah aturan yang menyimbolkan agar ciptaan manusia tidak melampaui keagungan ciptaan Tuhan.
  2. Pawongan: Harmoni antara manusia dengan sesamanya. Pilar ini mewujud dalam desain pemukiman komunal yang mendukung interaksi sosial yang erat. Tata letak pekarangan rumah adat Bali, keberadaan bale banjar sebagai jantung aktivitas komunal, dan sistem irigasi subak yang diakui UNESCO adalah contoh nyata. Subak bukan hanya tentang teknologi pertanian, tetapi sebuah organisasi sosial-religius yang kompleks di mana pembagian air diatur secara adil dan demokratis, memperkuat ikatan antarwarga.
  3. Palemahan: Harmoni antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Ini adalah pilar yang paling relevan dengan isu tata ruang modern. Kearifan lokal ini secara tegas membagi zona berdasarkan fungsinya: Utama Mandala (area suci seperti pura dan sumber mata air), Madya Mandala (area pemukiman manusia), dan Nista Mandala (area yang dianggap kurang suci seperti tempat pembuangan atau kuburan). Pembagian ini secara efektif menciptakan zona penyangga alamiah, melindungi sumber daya vital, dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Secara tradisional, ketiga pilar ini bekerja secara sinergis, menciptakan lanskap Bali yang harmonis dan berkelanjutan, di mana fungsi ekologis, sosial, dan spiritual tidak dapat dipisahkan.

Realitas Pahit Tata Ruang Bali dan Anomali Pendidikan Saat Ini

Namun, kompas spiritual yang ideal tersebut kini seringkali diabaikan dalam menghadapi tekanan ekonomi modern. Realitas di lapangan menunjukkan wajah tata ruang Bali yang bopeng, penuh dengan kontradiksi antara idealita dan realita. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip THK terjadi secara masif dan terang-terangan:

  • Pembangunan akomodasi pariwisata yang melanggar sempadan pantai, tebing, dan sungai, merusak aspek Palemahan.
  • Konversi lahan subak produktif yang tak terkendali menjadi properti komersial, mengancam ketahanan pangan dan tatanan sosial Pawongan.
  • Pembangunan yang melanggar batas ketinggian dan terlalu dekat dengan kawasan suci, mencederai nilai Parahyangan.
  • Penegakan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang lemah, seringkali tunduk pada kepentingan investasi jangka pendek.

Di tengah krisis ruang ini, sistem pendidikan formal, khususnya di tingkat SMA, mengalami anomali. Kurikulum yang ada gagal membekali siswa dengan kesadaran kritis yang dibutuhkan.

  • Dalam pelajaran Geografi, siswa mungkin mahir menghafal nama ibu kota atau menggambar peta buta, tetapi mereka tidak diajarkan cara membaca peta zonasi RTRW di kabupaten mereka sendiri untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran.
  • Dalam pelajaran Sosiologi, mereka belajar tentang teori perubahan sosial secara umum, tetapi jarang sekali diajak melakukan studi kasus investigatif tentang dampak nyata pembangunan sebuah hotel terhadap struktur sosial dan ekonomi desa di sekitar mereka.
  • Dalam Pendidikan Agama Hindu, konsep Tri Hita Karana diajarkan secara doktrinal dan filosofis, namun jarang sekali ditarik ke dalam konteks aplikasi praktis sebagai alat advokasi untuk membela hak-hak sipil atas ruang hidup yang layak.

Kesenjangan inilah yang fatal. Sekolah menghasilkan lulusan yang "tahu" tentang budayanya, tetapi "tidak berdaya" untuk melindunginya. Ada pemisahan antara pengetahuan normatif di dalam kelas dengan kesadaran kritis terhadap realitas di luar gerbang sekolah.

Merajut Benang Merah: Model Integrasi Kurikulum THK untuk Pengawasan Partisipatif

Solusinya bukanlah menambah beban kurikulum dengan mata pelajaran baru, melainkan merajut kembali benang merah yang terputus dengan mengintegrasikan isu tata ruang berbasis THK ke dalam struktur kurikulum yang sudah ada. Tujuannya adalah mengubah siswa dari objek pasif menjadi subjek aktif dalam pengawasan ruang. Berikut adalah model integrasi yang bisa diterapkan:

  1. Geografi Berbasis Proyek: Alih-alih tugas teoretis, guru dapat memberikan proyek "Peta Kritis Lingkungan". Siswa secara berkelompok ditugaskan untuk memetakan lingkungan sekitar sekolah atau tempat tinggal mereka, menandai zona hijau yang telah beralih fungsi dalam 5 tahun terakhir, mengidentifikasi bangunan yang diduga melanggar aturan (misalnya tidak memiliki ruang terbuka hijau), dan menganalisis titik-titik kemacetan baru. Ini mengajarkan skill pemetaan, observasi lapangan, dan analisis data spasial secara langsung.
  2. Sosiologi Investigatif: Siswa dapat dilatih untuk menjadi peneliti sosial junior. Mereka bisa melakukan proyek wawancara mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan di komunitas mereka---petani subak yang lahannya terancam, pemilik warung kecil yang terdampak hotel baru, atau anggota sekaa teruna (organisasi pemuda)---untuk memahami dampak sosial dan ekonomi dari sebuah proyek pembangunan. Hasilnya bisa disajikan dalam bentuk dokumenter pendek, tulisan esai, atau presentasi di depan kelas.
  3. PKn dan Simulasi Advokasi: Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) bisa menjadi arena latihan demokrasi. Siswa diajak untuk mengunduh dan mempelajari dokumen Perda RTRW kabupaten/kota mereka. Puncaknya, guru dapat menggelar simulasi rapat dengar pendapat umum di kelas. Siswa akan bermain peran sebagai perwakilan warga, aktivis lingkungan, investor, dan pejabat pemerintah daerah, di mana mereka harus beradu argumen dengan data dan landasan hukum. Ini melatih kemampuan berbicara di depan umum, berpikir kritis, dan memahami alur advokasi kebijakan.
  4. Ekstrakurikuler "Jaga Ruang": Di luar jam pelajaran, sekolah dapat memfasilitasi pembentukan klub atau komunitas seperti "Jaga Ruang" atau "Duta THK". Komunitas ini bisa menjadi wadah bagi siswa untuk mengorganisir aksi nyata, seperti kampanye kesadaran di media sosial, membuat petisi online, atau bahkan belajar cara membuat laporan resmi atas dugaan pelanggaran tata ruang kepada dinas terkait.

Melalui model-model ini, konsep Tri Hita Karana bertransformasi dari sekadar hafalan menjadi lensa analisis yang tajam. Pendidikan tidak lagi berhenti di gerbang sekolah, melainkan menjadi bekal nyata bagi lahirnya sebuah generasi pengawas partisipatif yang kritis, peduli, dan berani menjaga ruang hidupnya.

Kerusakan tata ruang di Bali pada hakikatnya adalah cerminan dari krisis kesadaran kolektif. Akar masalahnya bukan hanya bersemayam pada lemahnya penegakan hukum, tetapi juga pada terputusnya rantai pengetahuan dan kepedulian antargenerasi. Generasi muda Bali saat ini berdiri di sebuah persimpangan krusial, mewarisi kearifan luhur Tri Hita Karana sekaligus menghadapi realitas pembangunan yang seringkali brutal. Artikel ini menegaskan bahwa sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai gerbang menuju kedewasaan, memegang peran strategis untuk menyambungkan kembali dua dunia yang terpisah tersebut.

Mendidik generasi sadar ruang bukanlah sekadar transfer ilmu, melainkan sebuah investasi peradaban. Ini adalah upaya sadar untuk memastikan bahwa pewaris pulau ini memiliki kompetensi dan kepercayaan diri untuk menjadi penjaga, bukan hanya sekadar penghuni. Ini adalah sebuah panggilan bagi para pemangku kebijakan pendidikan untuk merevolusi kurikulum agar lebih relevan dan responsif terhadap tantangan zaman. Ini juga merupakan ajakan bagi para guru untuk berani menjadi fasilitator yang menginspirasi pemikiran kritis, dan bagi para siswa untuk tidak takut bertanya dan mulai peduli terhadap sejengkal tanah di sekitar mereka.

Kita perlu membayangkan sebuah masa depan di mana setiap lulusan SMA di Bali tidak hanya hafal konsep THK, tetapi juga mampu membuka situs RTRW digital, menganalisisnya, dan berani bersuara ketika melihat ketidaksesuaian di lapangan. Generasi inilah yang akan menjadi mata dan telinga publik, membentuk sistem pengawasan partisipatif yang organik dan kuat dari bawah ke atas. Inilah sinergi sejati: kearifan masa lalu yang dihidupkan melalui semangat kritis generasi masa depan untuk menjaga Bali agar tetap menjadi rumah yang harmonis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun