Di sebuah bale banjar, anak-anak perempuan sedang berlatih tari, mereka fokus menggerakkan badannya dengan lembut mengikuti alunan musik baleganjur yang dimainkan anak laki-laki lainnya. Mereka fokus belajar profesional sesuai fungsi mereka masing-masing dalam mempersiapkan pertunjukkan tersebut. Tanpa sadar kegiatan yang mereka kerjakan adalah sebuah proses belajar yang jauh lebih hidup daripada duduk di bangku kelas mendengarkan rumus matematika yang terasa abstrak. Namun, esok hari, mereka akan kembali ke sekolah, dihantui oleh tugas-tugas yang menuntutnya untuk menghafal, bukan memahami.
Kisah ini mungkin familiar di banyak desa di Bali, sebuah fenomena di mana pendidikan formal sering kali terasa terputus dari kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Para orang tua menaruh harapan besar pada ijazah sebagai kunci sukses menuju kehidupan menjadi karyawan kantor yang taat pada aturan, hidup dari gaji ke gaji, berangkat di pagi hari dan pulang pada sore hingga malam hari saat lembur, sementara di sisi lain, anak-anak mereka justru menemukan makna hidup dalam ritual, seni, dan tradisi.
Data aktual menunjukkan bahwa meskipun Bali memiliki angka partisipasi pendidikan yang tinggi, tetapi masih ada jurang yang menganga antara apa yang diajarkan di sekolah dan realitas sosial-budaya masyarakat bali yang kaya. Banyak lulusan merasa tidak sepenuhnya siap untuk kembali ke desa mereka, atau bahkan merasa bahwa pengetahuan modern yang mereka dapatkan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, kini justru menimbulkan dilema. Apakah tujuannya hanya untuk mencetak pekerja dan meraih nilai tinggi? Atau, apakah ada makna yang lebih dalam? Seperti sebuah tujuan yang dapat membentuk manusia seutuhnya, yang harmonis dengan diri sendiri, sesama, dan alamnya? Melalui perjalanan investigatif ini, kita akan mencoba menjawab pertanyaan fundamental tersebut dengan menggali filosofi pendidikan yang relevan dengan konteks Bali.
Masyarakat Bali saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, arus globalisasi mendorong mereka untuk bersaing di pasar kerja yang menuntut keahlian modern. Di sisi lain, identitas budaya mereka sangat terikat pada tradisi, upacara, dan sistem sosial yang unik. Dalam konteks inilah, pendidikan menjadi sangat krusial. Namun, model pendidikan yang ada saat ini, yang sering kali mengadopsi kurikulum universal, cenderung mengabaikan kekayaan lokal ini. Urgensi mengangkat topik ini adalah untuk mencegah erosi budaya dan disorientasi identitas di kalangan generasi muda. Jika pendidikan terus-menerus memisahkan mereka dari akar budayanya, kita berisiko menciptakan generasi yang cerdas secara akademis, namun miskin karakter dan kehilangan makna hidup.
Fakta di lapangan menunjukkan adanya gejala nyata dari masalah ini. Banyak anak muda di Bali yang pandai dalam pelajaran eksak, namun canggung saat harus berpartisipasi dalam upacara adat. Ada pula kasus di mana sistem pertanian tradisional seperti subak, yang merupakan manifestasi kearifan lokal, mulai ditinggalkan karena dianggap tidak efisien secara ekonomi digantikan dengan vila, hotel, hingga beachclub. Hal ini menunjukkan bahwa ada kegagalan dalam menghubungkan ilmu pengetahuan formal dengan kearifan lokal. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan cara menghasilkan uang, tetapi juga cara hidup yang berkelanjutan dan bermakna. Masalah ini bukan hanya sekadar isu pendidikan, melainkan cerminan dari tantangan sosial, budaya, dan bahkan lingkungan yang lebih besar. Pendidikan yang tidak berakar pada budaya dapat menghasilkan individu yang abai terhadap lingkungan, karena mereka tidak lagi merasakan hubungan spiritual dengan alam yang menjadi warisan budaya filosofi Bali. Oleh karena itu, sudah saatnya kita menginvestigasi ulang tujuan sejati pendidikan, bukan hanya untuk Bali, tetapi sebagai model universal.
Untuk memahami tujuan sejati pendidikan, kita perlu mengkaji tiga dimensi fundamental yang mencerminkan filosofi pendidikan secara luas: tujuan inspirasional, tujuan preskriptif, dan tujuan investigatif. Ketiga dimensi ini, jika diintegrasikan, dapat menawarkan makna baru bagi pendidikan, terutama dalam konteks kearifan lokal.
Tujuan Inspirasional Pendidikan
Tujuan inspirasional berbicara tentang visi besar yang memotivasi proses belajar. Ini bukan sekadar kurikulum, melainkan impian ideal tentang siapa kita dan apa yang bisa kita capai. Dalam konteks filosofi pendidikan, tujuan inspirasional adalah membentuk manusia seutuhnya, yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. Pendidikan idealnya menginspirasi murid untuk memiliki keutuhan karakter (integralitas), di mana pikiran, hati, dan perbuatan selaras.
Di Bali, keutuhan ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk mencapai keseimbangan harmonis antara diri sendiri, sesama, dan alam semesta yang tercermin dalam berbagai ajaran filosofis seperti Tri Hita Karana di Bali. Pendidikan harus menginspirasi murid untuk memiliki rasa syukur, empati, dan tanggung jawab terhadap lingkungan mereka. Ini adalah visi yang mendorong pendidikan untuk melampaui batas-batas kelas, menciptakan individu yang berorientasi pada kebaikan bersama dan keseimbangan hidup, bukan sekadar kesuksesan pribadi.
Tujuan Preskriptif Pendidikan