Dua hari setelah hujan deras di Pulau Bali, berita tak biasa terdengar. Underpass di tengah Jantung Badung terendam, berbagai lokasi pemukiman serta jalanan dipenuhi air, hingga puncaknya sebuah ruko di tengah Kota Denpasar, hancur terseret banjir dengan belasan hingga puluhan korban jiwa yang hingga kini beberapa belum ditemukan. Semua berduka dan tentunya tidak pernah terbayangkan bencana ini dapat terjadi di sebuah pulau yang selalu dielu-elukan sebagai surga bagi penduduknya, wisatawan lokal, hingga mancanegara. Di balik gemerlap pariwisata dan kemegahan pura, Bali kini menghadapi realitas yang tidak menyenangkan. Bencana banjir yang terjadi belakangan ini bukan sekadar fenomena alam biasa. Ia adalah sinyal, sebuah teguran keras dari alam, yang seharusnya memaksa kita untuk berhenti sejenak dan merenung. Apakah ada yang salah dengan cara kita menjalani hidup dan membangun pulau ini? Apakah ada harmoni yang hilang, yang kini terusik oleh ambisi dan pembangunan yang tak terkendali?
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir di Bali bukanlah kebetulan. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali, kejadian banjir dan tanah longsor terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama di musim penghujan. Permasalahan ini memiliki akar yang dalam, jauh melampaui sekadar curah hujan yang tinggi. Urbanisasi yang masif, alih fungsi lahan hijau menjadi perumahan, villa, atau infrastruktur komersial, serta minimnya resapan air, adalah beberapa faktor utama. Pembangunan yang pesat, meskipun bertujuan untuk meningkatkan ekonomi, sering kali abai terhadap tata ruang dan keseimbangan ekologis. Inilah urgensi mengapa kita perlu membahas isu ini. Bencana banjir bukan hanya merugikan secara ekonomi, merusak infrastruktur, mengganggu aktivitas warga, tetapi juga merusak tatanan sosial dan spiritual masyarakat Bali. Kerusakan lingkungan yang terjadi, secara langsung mengancam konsep kebahagiaan dan harmoni yang telah lama menjadi pondasi kehidupan masyarakat Bali.
Â
Tri Hita Karana, Kunci Harmoni yang Terlupakan
Untuk memahami bencana yang terjadi, kita perlu kembali pada filosofi yang telah menjadi denyut nadi kehidupan di Bali: Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajarkan tiga hubungan harmonis yang harus dijaga: hubungan dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan dengan sesama manusia (Pawongan), dan hubungan dengan alam (Palemahan). Banjir yang kini merundung Bali adalah bukti nyata bahwa pilar ketiga, Palemahan, telah diabaikan.
Parahyangan (Hubungan dengan Tuhan)Â Dalam konteks banjir, pelanggaran terhadap Palemahan secara tidak langsung juga mengganggu Parahyangan. Masyarakat Bali meyakini bahwa alam adalah ciptaan suci Tuhan. Tidak menjaga, bahkan merusak alam berarti tidak menghargai ciptaan-Nya. Ketika manusia mengabaikan keseimbangan alam, mereka secara spiritual menjauh dari esensi ajaran Tri Hita Karana, yang memandang alam sebagai manifestasi Ilahi. Alih-alih merawatnya sebagai karunia yang diberikanNya, alam malah diperlakukan sebagai objek yang bisa dieksploitasi demi keuntungan materi semata.
Pawongan (Hubungan dengan Sesama Manusia) Banjir juga mengikis pilar Pawongan. Ketika sebuah bencana terjadi, yang menderita bukan hanya individu, melainkan seluruh komunitas. Pembangunan yang egois, yang mengabaikan dampak lingkungan, pada akhirnya merugikan tetangga, sanak saudara, bahkan generasi mendatang yang bersalah. Saluran air yang ditutup untuk pembangunan satu vila bisa menyebabkan banjir di permukiman warga lainnya. Ini adalah bentuk ketidakpedulian yang merusak tatanan sosial. Di masa lalu, komunitas di lingkungan tempat tinggal bekerja sama bahu-mebahu dalam menjaga saluran irigasi subak, membersihkan sungai, dan memastikan keseimbangan air tetap terjaga. Kini, semangat kebersamaan ini memudar, digantikan oleh individualisme yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi dan kesenangan sesaat.
Palemahan (Hubungan dengan Alam)Â Inilah pilar utama yang paling tergerus. Palemahan adalah fondasi dari Tri Hita Karana yang kini terlihat paling rapuh. Pembangunan infrastruktur yang masif, yang sering kali tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan, menjadi penyebab utama. Hutan dan lahan resapan diganti dengan beton. Subak, sistem irigasi kuno yang sempat dibanggakan Rakyat Bali sebagai situs warisan budaya yang diakui UNESCO pada tahun 2012, juga berfungsi sebagai penahan air, kini menyusut. Data menunjukkan, alih fungsi lahan pertanian di Bali terjadi sangat cepat. Padahal, subak bukan hanya sistem irigasi, melainkan juga simbol dari kearifan lokal dalam mengelola lingkungan. Hilangnya subak berarti hilangnya salah satu benteng pertahanan utama terhadap banjir.
Konsep kebahagiaan dan harmoni yang dianut masyarakat Bali juga menjadi relevan. Kebahagiaan menurut Tri Hita Karana bukanlah semata-mata kemewahan materi, melainkan kebahagiaan yang lahir dari keseimbangan dan kedamaian batin. Kesejahteraan lahir dari hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam. Namun, kini, kebahagiaan sering kali diukur dari seberapa banyak uang yang dihasilkan, seberapa mewah kendaraan yang dimiliki, seberapa besar vila yang dimiliki, atau seberapa modern dan megah bangunan yang didirikan. Pandangan sempit ini telah menjebak masyarakat dalam siklus pembangunan yang merusak, yang pada akhirnya membawa ketidakbahagiaan dalam bentuk bencana.
Kebijakan Pemerintah dan Relevansi Tri Hita Karana
Banyak kebijakan pemerintah saat ini, meskipun diklaim bertujuan untuk memajukan Bali, seringkali bertentangan dengan prinsip Tri Hita Karana. Misalnya, kebijakan yang mempermudah izin pembangunan hotel atau perumahan di kawasan hijau, atau proyek reklamasi yang mengancam ekosistem laut. Pemerintah seringkali melihat masalah banjir sebagai isu teknis yang dapat diselesaikan dengan membangun tanggul atau memperdalam sungai, tanpa menyentuh akar masalahnya, yaitu pembangunan yang tidak terkontrol.