Gunung Bromo merupakan salah satu destinasi wisata paling ikonik di Indonesia,terletak di Provinsi Jawa Timur, mencakup wilayah Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Sebagai bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), gunung ini terkenal  dengan  keindahan alam luar biasa. Dengan lanskap eksotis yang terdiri dari lautan pasir luas, kawah yang masih aktif, serta pemandangan matahari terbit yang spektakuler, Gunung Bromo telah menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.Â
Gunung Bromo dapat diakses melalui beberapa jalur darat, dengan rute utama dari Surabaya atau Malang menuju Probolinggo dan dilanjutkan ke Cemoro Lawang, gerbang utama kawasan wisata ini. Dari sana, wisatawan bisa menggunakan jeep 4x4, berkuda, atau berjalan kaki untuk mencapai area utama. Sesampainya di Bromo, berbagai aktivitas menarik dapat dilakukan, seperti menyaksikan matahari terbit dari Bukit Penanjakan, menjelajahi lautan pasir dengan jeep off-road, mendaki kawah Bromo, serta mengunjungi Pura Luhur Poten, tempat ibadah suci masyarakat Tengger. Selain itu, wisatawan juga dapat menikmati keindahan Padang Savana, Bukit Teletubbies, dan Pasir Berbisik, yang menjadi spot populer untuk berfoto.
Namun, di balik pesonanya, Gunung Bromo menyimpan berbagai tantangan dan risiko yang perlu mendapat perhatian serius. Sebagai bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kawasan ini menghadapi sejumlah permasalahan, mulai dari potensi bencana alam, kebakaran hutan, degradasi lingkungan akibat aktivitas wisata yang tidak terkendali, hingga dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal. Jika tidak dikelola dengan baik, berbagai risiko ini dapat berdampak buruk bagi ekosistem, keamanan wisatawan, dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, diperlukan strategi manajemen risiko yang efektif untuk memastikan bahwa pariwisata di Gunung Bromo dapat berkembang secara berkelanjutan, tetap aman, dan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan serta kehidupan sosial masyarakat lokal.
Identifikasi Risiko di Gunung Bromo
Berdasarkan penelitian terbaru, terdapat empat risiko utama yang perlu dikelola dalam pengelolaan pariwisata di Gunung Bromo:
1. Risiko Geologi dan Bencana Alam
Sebagai gunung berapi aktif, Gunung Bromo memiliki potensi letusan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Letusan gunung ini tidak hanya berdampak pada aktivitas wisata, tetapi juga dapat mengancam keselamatan wisatawan dan penduduk sekitar. Studi yang dilakukan oleh Fajar et al. (2024) menunjukkan bahwa erupsi Gunung Bromo berpengaruh terhadap geodiversitas kawasan dan infrastruktur pariwisata di sekitarnya. Abu vulkanik yang dihasilkan dapat menyebabkan gangguan pernapasan, menghambat jalur transportasi, serta menutup akses wisata dalam jangka waktu yang tidak dapat diprediksi. Selain itu, kawasan ini juga rentan terhadap gempa bumi dan tanah longsor yang dapat mengancam jalur wisata dan pemukiman masyarakat sekitar. Jika tidak ada langkah mitigasi yang tepat, bencana ini dapat berujung pada kerugian ekonomi yang signifikan serta membahayakan keselamatan pengunjung dan penduduk setempat.
2. Risiko Kebakaran Hutan
Ancaman kebakaran hutan semakin meningkat di kawasan Gunung Bromo, terutama akibat kelalaian manusia. Salah satu kasus yang cukup serius terjadi pada September 2023, ketika kebakaran melalap sekitar 50 hektar lahan akibat penggunaan suar dalam sesi foto pre-wedding. Kebakaran ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga berdampak pada penutupan sementara beberapa jalur wisata yang mengakibatkan kerugian ekonomi bagi masyarakat sekitar. Penelitian oleh Nugraha (2025) menyoroti bahwa kebakaran hutan di kawasan Gunung Bromo umumnya disebabkan oleh aktivitas wisata yang tidak terkontrol serta kurangnya kesadaran pengunjung terhadap bahaya kebakaran di ekosistem pegunungan yang kering. Oleh karena itu, regulasi ketat terhadap aktivitas wisatawan perlu diterapkan guna mencegah kejadian serupa di masa depan.
3. Risiko Degradasi Lingkungan
Meningkatnya jumlah wisatawan di Gunung Bromo membawa dampak lingkungan yang signifikan. Aktivitas kendaraan jeep wisata yang masih menggunakan bahan bakar fosil menghasilkan polusi udara yang tinggi, sedangkan jalur pendakian yang tidak terkendali menyebabkan erosi tanah. Sampah plastik yang dibuang sembarangan juga menjadi permasalahan serius yang mengancam keanekaragaman hayati di kawasan ini. Menurut studi yang dilakukan oleh Hakim & Soemarno (2017), eksploitasi kawasan untuk keperluan pariwisata tanpa adanya regulasi yang ketat berpotensi merusak keseimbangan ekosistem. Jika tidak ada langkah konkret dalam pengelolaan lingkungan, Gunung Bromo bisa kehilangan daya tariknya sebagai destinasi wisata alam yang lestari.
4. Risiko Sosial dan Ekonomi
Masyarakat Tengger yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Bromo sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Namun, ketergantungan ini juga membawa risiko besar, terutama saat terjadi krisis seperti bencana alam atau pandemi. Pandemi COVID-19 misalnya, mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan yang drastis dan menyebabkan banyak pelaku usaha wisata mengalami kebangkrutan. Selain itu, kenaikan harga tanah akibat komersialisasi pariwisata telah mendorong pergeseran sosial yang cukup signifikan di kawasan ini. Studi oleh Prastiwi & Wahyuningsih (2023) menunjukkan bahwa banyak masyarakat lokal yang terpaksa menjual tanah mereka kepada investor besar, sehingga mengurangi kontrol komunitas lokal terhadap sektor pariwisata di wilayah mereka sendiri.Â
Untuk memastikan bahwa pariwisata di Gunung Bromo dapat berkelanjutan, diperlukan strategi mitigasi risiko yang tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga dapat diterapkan secara efektif. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih komprehensif dan aplikatif perlu diterapkan guna mengatasi berbagai tantangan yang ada. Berikut adalah beberapa strategi utama yang dapat dilakukan:
1. Membangun Sistem Deteksi dan Mitigasi Bencana yang Responsif
Salah satu aspek krusial dalam pengelolaan wisata di Gunung Bromo adalah kesiapsiagaan terhadap bencana alam, terutama erupsi gunung berapi. Untuk itu, diperlukan penguatan sistem pemantauan aktivitas vulkanik menggunakan teknologi modern, serta pengembangan jalur evakuasi yang aman dan mudah diakses oleh wisatawan. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyas et al. (2021) menekankan pentingnya pemetaan kawasan rawan bencana di sekitar Gunung Bromo guna meningkatkan efektivitas strategi mitigasi dan mengurangi potensi risiko bagi pengunjung serta masyarakat sekitar.
2. Pengelolaan Lingkungan Berbasis Konservasi
Keberlanjutan ekosistem di Gunung Bromo sangat bergantung pada pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta dalam menerapkan praktik ekowisata yang lebih ramah lingkungan. Hakim & Soemarno (2017) menyarankan penerapan model ekowisata berbasis komunitas, yang tidak hanya berfokus pada pelestarian keanekaragaman hayati, tetapi juga mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan mengurangi dampak negatif dari pariwisata massal.
3. Pencegahan Kebakaran Hutan dengan Penegakan Regulasi Ketat
Kebakaran hutan menjadi salah satu ancaman utama bagi kelestarian kawasan Gunung Bromo. Untuk mengatasinya, diperlukan regulasi yang lebih ketat, termasuk larangan penggunaan bahan yang mudah terbakar serta penerapan sanksi bagi pelanggar. Selain itu, peningkatan patroli pengawasan dan penggunaan teknologi pemantauan berbasis drone dapat membantu mendeteksi potensi kebakaran lebih dini. Penelitian oleh Suhardono et al. (2024) menunjukkan bahwa kebakaran hutan di Gunung Bromo sering kali dipicu oleh aktivitas wisata yang kurang diawasi serta lemahnya regulasi dalam menegakkan aturan konservasi. Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan harus diterapkan secara lebih serius dan berkelanjutan.
4. Membangun Ketahanan Ekonomi Masyarakat Lokal
Agar masyarakat lokal tidak terlalu bergantung pada sektor pariwisata yang rentan terhadap gangguan eksternal, seperti bencana alam atau pandemi, diperlukan diversifikasi ekonomi yang lebih luas. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah memperkuat peran masyarakat dalam pengelolaan wisata melalui konsep pariwisata berbasis komunitas. Studi oleh Pamungkas & Jones (2021) menyoroti bahwa pendekatan ini dapat membantu masyarakat memperoleh manfaat ekonomi yang lebih merata serta meningkatkan ketahanan mereka dalam menghadapi fluktuasi sektor pariwisata.
Gunung Bromo merupakan destinasi wisata ikonik yang menghadapi berbagai tantangan, termasuk risiko bencana alam, kebakaran hutan, degradasi lingkungan, dan dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal. Jika tidak dikelola dengan baik, permasalahan ini dapat mengancam keberlanjutan ekosistem dan sektor pariwisata. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan strategi mitigasi yang efektif, seperti penguatan sistem deteksi bencana, pengelolaan lingkungan berbasis konservasi, penegakan regulasi ketat terhadap aktivitas wisata, serta diversifikasi ekonomi masyarakat lokal. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara eksplorasi wisata dan pelestarian lingkungan, sehingga Gunung Bromo dapat terus menjadi destinasi wisata yang aman dan berkelanjutan.
REFERENSI :Â
1. Fajar, M. H. M., Santoso, E. B., & Ulumuddin, F. (2024). Geodiversity assessment of Widodaren spring: A treasure trove site for Bromo Tengger Volcano's future geopark. IOP Science. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1418/1/012060
2. Hakim, L., & Soemarno, M. (2017). Biodiversity conservation, community development and geotourism development in Bromo-Tengger-Semeru-Arjuno biosphere reserve, East Java. Geojournal of Tourism and Geosites, 20(2), 220–232. https://doi.org/10.30892/gtg.2023.20.02.04
3. Nugroha, P., & Raharjo, B. (2022). Tourism accessibility and infrastructure in Mount Bromo: Challenges and opportunities. Journal of Sustainable Tourism, 30(5), 859–875. https://doi.org/10.1080/09669582.2022.2038593
4. Nugraha, M. P. (2025). Analysis of the impact of forest fires: Pre-wedding incident of Mount Bromo and its disaster risk management response. Calamity: A Journal of Disaster Technology, 15(1), 112–124. https://journal-iasssf.com/index.php/Calamity/article/view/1508
5. Pamungkas, W., & Jones, T. E. (2021). Indonesia's mountainous protected areas: National parks and nature-based tourism. Springer. https://www.researchgate.net/publication/353406475
6. Prastiwi, L. F., & Wahyuningsih, R. D. (2023). Bromo Tengger Semeru economic valuations during pandemic COVID-19. KnE Social Sciences, 8(3), 75–89. https://doi.org/10.18502/kss.v8i3.15121
7. Santoso, A., & Wibowo, T. (2023). Ecotourism and cultural heritage in Bromo Tengger Semeru National Park. Journal of Indonesian Tourism and Conservation, 12(4), 287–299. https://jitcon.org/index.php/jitcon/article/view/523
8. Suhardono, S., Fitria, L., & Suryawan, I. W. K. (2024). Human activities and forest fires in Indonesia: An analysis of the Bromo incident and implications for conservation tourism. Elsevier. https://doi.org/10.1016/j.foresci.2024.00177
9. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. (2024). Panduan wisata dan konservasi di Gunung Bromo. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. https://www.tnbromotenggersemeru.org/
10. Wahyuningtyas, N., Yaniafari, R. P., & Rosyida, F. (2021). Mapping an eruption disaster-prone area in the Bromo-Tengger-Semeru National Tourism Strategic Area. Geojournal of Tourism, 14(3), 189–202. https://www.academia.edu/download/88146475/gtg.394spl14-787.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI