Mohon tunggu...
Devie Koerniawan
Devie Koerniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk mengubah

Mencoba memperbaiki banyak hal dari yang sedikit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Negeri Ini, Orang Patuh itu Rugi

29 Juni 2020   14:43 Diperbarui: 29 Juni 2020   15:01 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pejalan kaki kini tak leluasa berjalan kaki di trotoar, tempat yang seharusnya memang menjadi haknya. Tiap beberapa meter, dia harus memiringkan badan untuk menyesuaikan dengan tiang pembatas jalan dan trotoar, yang bahasa kerennya bollard. 

Benda berbentuk tiang atau bola ini digunakan untuk menghalau pengendara motor dan pedagang masuk ke jalan trotoar. Kenapa harus ada bollard? Karena pengendara motor dan pedagang, yang sebenarnya tak memiliki hak di trotoar, memaksakan kehendaknya untuk memakai trotoar. Siapa yang melanggar aturan? Pengendara motor dan pedagang. Siapa yang tersusahkan? Pejalan kaki.

Akses masuk dan keluar diperumahan tempat saya tinggal semula ada dua, masuk dan keluar. Sudah setengah tahun ini akses keluar perumahan ditutup dengan kayu dan bambu. Penyebabnya, akses jalan yang lebar itu dipakai sebagai jalan alternatif dan kebut-kebutan oleh penduduk sekitar perumahan, yang sebenarnya tidak memiliki hak untuk menggunakan akses jalan itu. Siapa yang dirugikan? Kami para penghuni perumahan. Apakah para pengguna liar dari jalan perumahan itu dirugikan? Tentu saja tidak.

Seorang pengemudi mobil sudah mematuhi seluruh aturan lalu lintas. Dia memakai sabuk pengaman dengan benar. Dia patuhi semua rambu dan marka jalan. Dia berjalan dengan sangat hati-hati. Namun tiba-tiba didepannya ada pengendara motor tanpa helm yang menyerobot jalan dan terjatuh persis di bemper mobilnya. 

Pengendara motor ini mati, karena kepala terantuk aspal keras. Pengemudi mobil ini lalu dijatuhi hukuman sesuai Pasal 310 ayat (4) KUHP karena dianggap kecelakaan yang mengakibatkan kematian. Apakah pengendara motor dirugikan? Saya rasa tidak, orang dia sudah mati. Apakah pengemudi mobil dirugikan? Sangat! Andai saja pengemudi motor itu tidak ugal-ugalan, atau minimal pakai helm, kalaupun harus ada kecelakaan, kematian masih bisa dihindari. Dan pengemudi mobil tidak mendapat hukuman yang dia tidak pantas dapatkan.

Suatu saat saya menghadiri undangan sebuah pertemuan. Seperti biasa saya datang lima menit sebelum acara dimulai sesuai jadwal tercantum dalam lembar undangan. Namun sampai sepuluh menit terlewat dari jadwal, acara tidak juga dimulai. Saya dan dua orang lain yang patuh dan taat dengan hadir sesuai jadwal malah diminta untuk bersabar dan menunggu undangan lain yang belum datang. 

Acara kemudian dimulai satu jam melebihi waktu yang dituliskan di lembar undangan. Mereka yang terlambat datang justru diuntungkan dengan tak terbuangnya waktu dengan percuma, sementara saya dan dua orang lainnya justru harus rela membuang 60 menit kami hanya dengan duduk diam tanpa kompensasi apapun.

Sebagai ASN, saya sangat berusaha untuk patuh dengan semua aturan. Tak terkecuali presensi. Saya hadir tidak hanya hadir tapi juga mengoptimalkan waktu kerja. Bagi saya, tak ada cara meraih keberkahan penghasilan selain mengoptimalkan setiap menit jam kerja dan kemampuan saya dengan setiap rupiah yang dibayarkan rakyat untuk menggaji saya.

Waktu itu semua baik-baik saja sampai ada satu rekan kerja yang hanya datang absen pagi, pergi, dan kembali untuk absen sore. Orang-orang seperti ini pasti ada di setiap kantor, orang-orang yang menganggap gajinya adalah upeti dari rakyat atau semacam uang saku dari orang tua, yang kerja atau tidak pasti akan diberi. Jumlah orang-orang seperti ini tak banyak, tak sampai separuh, bahkan lima orang per kantor pun tidak sampai. Tapi lihat efek dari ketidakpatuhan orang-orang macam begini.

Singkat cerita, pemegang kebijakan mengetahui ada perilaku menyimpang ini. Dibuatlah kebijakan yang tujuannya baik, meminimalkan praktik tujuh kosong lima, alias datang dan absen jam tujuh pagi trus menghilang, dan datang lagi absen pulang jam lima sore. 

Namun caranya justru memberatkan 95% pegawai yang sudah patuh dan baik, karena semua pegawai diminta untuk mengisi buku rapot yang isinya mencatat semua pekerjaan mereka pada hari itu. Apakah pegawai "sakit" itu sembuh? Sepertinya tidak, karena dia akan menemukan cara untuk mengakali sistem atau malah cuek. Lalu bagaimana dengan pegawai yang lain? Mereka -- yang rajin, patuh, taat dan baik ini -- justru semakin terbebani dengan pekerjaan mencatat rapot sendiri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun