Nama Penulis: Katharine E. McGregor
Tahun Terbit: 2008
Penerbit: Syarikat
Tempat Terbit: Yogyakarta
Jumlah halaman: 459 Halaman
Nomor ISBN: 9789791287012
Dalam Bab I yang bertemakan "Sejarah dalam Pengabdian Kepada Rezim yang Otoriter" berisi mengenai pentingnya sejarah sebagai representasi dalam nasionalisme Indonesia. Historiografi resmi yang dihasilkan pada masa Orde Baru lebih banyak diteliti secara ilmiah daripada sejarah yang dihasilkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Dalam periode Demokrasi Terpimpin, sejarah mengalami Manipolisasi dalam pemikiran kesejarahan yang dikuasai oleh pemegang kuasa untuk tujuan "revolusi". Sedangkan pada masa Orde Baru, ahli sejarah merasakan kebebasan yang lebih besar untuk mengemukakan pendapat dengan bahasa ideologis. Namun, kajian-kajian sejarahnya dibatasi. Kedua periode itu sama-sama bertujuan untuk memajukan keseragaman ideologis dan persamaan visi mengenai masa lalu nasional.
Bab II, bertemakan "Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata". Nugroho Notosusanto, dikenal karena cerpen dan kegiatan kemahasiswaan di dalam negeri maupun luar negeri. Nugroho mempunyai cara berpikir yang sama dengan Suharto dan Jenderal Nasution, karena itulah ia sangat berharga bagi rezim Orde Baru. Jenderal Nasution menunjuk Nugroho sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, kemudian Nugroho membentuk beberapa proyek penting, salah satunya ialah usaha kudeta 1965 versi Angkatan Darat.
Pada Bab III yang bertema "Sejarah Untuk Membela Rezim Orde Baru", berisi mengenai buku "40 Hari Kegagalan 'G-30S' 1 Oktober - 10 November" yang mengkonsolidasi propaganda Angkatan Darat mengenai kudeta dan berisi laporan kronologis mengenai keterlibatan PKI. Gambaran tentang usaha kudeta sangat penting bagi legitimasi rezim dan bagi pelanggaran terhadap PKI untuk membenarkan penghancuran partai ini. Namun, buku ini lebih banyak menceritakan tentang rezim Orde Baru daripada mengenai kudeta itu sendiri.
"Mengkonsolidasi Kesatuan Militer", tema pada Bab IV yang menerangkan cara militer menggambarkan masa lalu yang terputus-putus antara legitimasi sejarah dengan kenyataan. Untuk memupuk rasa identitas bersama antar prajurit, Pusat Sejarah ABRI berpaling pada gambaran-gambaran perjuangan kemerdekaan 1945-1949, menjadi berpusat ke penonjolan perang kemerdekaan ke dalam buku teks sejarah militer dan pendirian museum ABRI yang disentralisasi. Awal tahun1970-an, kepemimpinan militer juga memikirkan dampak dari penyerahan kekuasaan kepada generasi muda militer yang tidak mengalami perang kemerdekaan.
Dalam Bab V yang bertema "Mempromosikan Militer dan Dwifungsi kepada Masyarakat Sipil" menerangkan gerakan militer Indonesia dari posisi yang defensif (menghasilkan sejarah untuk tujuan internal militer) ke posisi ofensif yang membuat mereka mendiktekan versi resmi sejarah mengenai usaha kudeta 1965 kepada masyarakat Indonesia. Nugroho menegaskan keyakinannya bahwa sejarah harus digunakan sebagai sarana untuk memberi inspirasi kepada rakyat untuk berperan serta dalam pembangunan nasional. Nugroho juga percaya bahwa militer merupakan pemandu bangsa yang paling baik.