[caption id="attachment_259900" align="aligncenter" width="303" caption="Piccaso. Girl before mirror. (Ukuran 64 x 51 1/4) cat minyak. source(google)"][/caption] Di cermin itu terlihat seorang gadis dengan gaun malam yang dikenakannya layaknya seperti gadis-gadis di awal abad-20. Ia berlenggak-lenggok di depan cermin itu danberbicara layaknya Ia sedang berakting. Entah apa yang sedang dipikirkan Lana malam itu. Cukup lama Ia berdiri menghadap sebuah cermin yang ditempel di dinding untuk memandang sosoknya yang melankolis. Lana mencoba belajar bagaimana cara untuk terlihat bahagia, karena kesan sendu itu ingin ia hilangkan. Di depan kaca yang menciptakan pantulan sosoknya itu, dipasangkannya wajah senang yang dibuat hiperbolis dan segala macam ekspresi dan gerak yang tak biasanya. Hingga tawa gelipun meledak, senyum malu tergambar jelas diwajahnya. Maksud hati ingin terlihat bahagia, alhasil Lana malah terlihat menggelikan. Ia mendekatkan wajahnya pada cermin tanpa ada niat untuk mengutuk diri lebih dekat karena Lana yakin parasnya cukup lumayan. Wajah bulat telur (ya), Alis tebal mirip lily collin (bisa jadi) , Mata dua sayu (ya), Hidung mancung (cukup) dan bibir lebar ala Anne Hathaway (terlihat manis ketika keduanya di lengkungkan). “Kamu cantik” pujinya percaya diri. Akan tetapi kepercayaan dirinya hampir saja goyah, ketika wajah yang lumayannya itu ada beberapa tambahan aksesoris berupa tonjolan-tonjolan yang mengganggu. Tapi Lana tak berkecil hati, anggap saja tonjolan itu adalah fitrah seorang remaja atau dampak dari orang yang suka memendam perasaannya. Lana tidak sedang memerankan Queen Ravenna yang sedang mengajak sebuah cermin untuk berbicara tentang kecantikan. Lana yakin kecantikan di dalamnya yang akan dilihat pria manapun yang melihatnya. Ia menganggukan kepalanya percaya. Akan ada seseorang yang akan mengenalnya bukan hanya dari penampilan fisik tapi juga mengenalnya lewat hatinya. Ia menayadari bahwa kecantikan itu seperti halnya terbuka dalam segala hal, kepada siapapun, tanpa memandang ia siapa dan dari golongan apa. Seperti halnya kecantikan Khadijah pada Muhammad, dan kejernihan senyum epil dari May Ziadah pada Kahlil Gibran*. Di depan cermin itulah dirinya apa adanya. Tak perlu merubah apapun, biarkan kesan sendu itu menjadi cirinya. Lana tersenyum kemudian dan Ia pun kembali ke atas kasur empuknya. Tidak biasanya lampu kamar dibiarkan tetap menyala. Malam itu Ia ingin tidur di bawah cahaya lampu pijar. Seolah-olah dia sedang menyerap cahaya matahari di pagi hari. Mulailah Ia memejamkan matanya meski kata ingin tidur belum ia dapatkan. Hingga saatnya ia benar-benar tertidur, Ia lupa untuk memanjatkan do’a. -Selesai- *Terimakasih kepada Saudara Mohamad Irfan Chandra yang memberi tambahan menarik untuk penulis amatiran ini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI