Mohon tunggu...
deviana
deviana Mohon Tunggu... Guru

Pikiran adalah samudra yang luas, dan penjelajah pikiran adalah mereka yang berani menyelam ke dalamnya, menemukan inspirasi, dan mengubahnya menjadi cerita yang memikat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayangan di Perak

16 Mei 2025   15:49 Diperbarui: 16 Mei 2025   16:19 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Miriam membuka pintu bengkel dengan hati yang berat. Udara hangat dari perapian langsung menyelimuti wajahnya, kontras dengan dinginnya angin di luar . Di dalam, suara dentingan logam bergema, bercampur dengan desis api yang membakar. Di sudut ruangan, Ruben berdiri, di kelilingi alat-alat tempa dan peralatan peraknya.

"Tuan Ruben" panggil Miriam pelan.

Ruben menoleh, menyela keringat dari dahinya dengan kain kasar. Wajahnya penuh bercak hitam, tetapi matanya memancarkan ketenangan yang dalam. "Miriam" sapanya ramah. "Apa yang membawamu ke sini hari ini?".

Miriam mengigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah mendesak keluar. "Aku...aku tidak tahu harus kemana lagi." katanya dengan suara bergetar "Hidupku terasa seperti berada dalam api, Tuan. Semua terasa berat, aku kehilangan ladang keluarga, kami tidak punya cukup makanan, dan aku merasa Tuhan telah meninggalkan kami. Mengapa Dia membiarkan semua ini terjadi?"

Ruben menatap Miriam dengan penuh kasih , tetapi ia tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia berjalan ke meja kerjanya dan mengambil penjepit panjang. Di ujungnya, ada sebongkah perak mentah yang kasar, penuh noda hitam dan kotoran. "Ikutlah denganku" katanya.

Miriam mengikutinya dengan ragu. Ruben berdiri di depan perapian besar, api yang menyala nyala terlihat begitu panas hingga Miriam mundur setengah langkah . "Kau tahu apa ini?" tanya ruben, mengangkat perak itu dengan penjepitnya.

"perak mentah?" jawab Miriam ragu.

"Benar" kata Ruben. "Ini adalah perak, tetapi ia masih penuh dengan kotoran. Untuk menjadikannya murni. aku harus memanaskannya di tempat yang paling panas dalam api ini".  Ia memasukkan perak itu kedalam api, memegangnya dengan hati-hati di tengah kobaran.

Miriam mengerutkan kening, memperhatikan bagaimana logam itu mulai berubah warna, dari abu-abu gelap menjadi merah menyalah. "Bukankah itu berbahaya? Tidakkah perak itu bisa rusak atau hancur ?" Tanyanya.

Ruben tersenyum kecil. "Tentu, itu mungkin terjadi jika aku meninggalkannya terlalu lama dalam api, ia akan meleleh dan kehilangan bentuk. Tapi jika aku tidak memanaskannya cukup lama, semua kotorannya akan tetap ada. Itu sebabnya aku harus tetap mengawasinya."

Miriam memperhatikan dengan seksama. Ruben tidak pernah mengalihkan pandangannya dari perak itu, bahkan sedetikpun. Ia kadang-kadang memutarnya, memastikan panasnya merata, tetapi tidak pernah membiarkannya terlalu lama di satu sisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun